SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Black Out, Kerugian pada Rakyat

Black Out, Kerugian pada Rakyat

WARGASERUJI – Terputusnya aliran listrik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) selama kurang lebih 5 jam. Akibat dari gangguan transmisi saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 kV Ungaran dan Pemalang.

Black out tentu menimbulkan banyak kerugian bagi rakyat. Jokowi juga heran kenapa PLN tidak bisa bergerak cepat. Padahal kejadian serupa pernah terjadi belasan tahun lalu dan kali ini berulang menimbulkan kerugian banyak pihak, ujar beliau di kantor pusat PLN, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019). Dikutip dari finance.detik.com.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan sektor ritel mengalami kerugian lebih dari Rp 200 miliar. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan total 82 pusat perbelanjaan dan 2500 lebih toko ritel modern swakelola di Jakarta. (republika.co.id, (6/8).

Black out pun memakan korban jiwa. Satu keluarga meninggal terpanggang hidup-hidup di rumah mereka di Jakarta Utara karena meteran listrik tiba-tiba meledak. Usai pemadaman listrik massal, begitu listrik menyala, tiba-tiba keluar api dari meteran listrik. news.detik.com, (7/8).

Mengurangi Masalah Krisis Listrik

Pemadaman listrik yang kerap terjadi adalah bagian dari krisis listrik yang selama ini dialami Indonesia. Ada beberap faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, faktor teknis, sering terjadi kerusakan yang menimpa sejumlah gardu induk PLN. Kedua, faktor finansial. Di sisi transmisi, misalnya, banyak jaringan dan alat-alat PLN yang sudah tia karena tidak adanya biaya investasi sehingga harus dilakukan overhaul yang akhirnya merugikan masyarakat banyak dengan pemadaman listrik.

Teknologi listrik termasuk teknologi tinggi. Banyak alat-alat yang masih harus diimpor dan harganya mahal. Padahal APBN terbatas. Akibatnya, kenaikan Tarif Dasar Listrik secara periodik (rutin) menjadi pilihan. Solusi yang diambil pemerintah untuk mengatasi keterbatasan PLN memasok ketersediaan listrik ialah mengundang swasta untuk ikut membangun fasilitas pembangkit dan transmisi. Swasta menjawab undangan ini dengan meminta kontrak karya ( keharusan PLN membeli listrik mereka, tentu dengan harga lebih mahal). Akibatnya, PLN tidak lagi menjadi pemain tunggal dalam kelistrikan.

Apalagi UU Listrik memberi peluang lebih lebar lagi kepada pihak swasta untuk bersaing dengan PLN dalam penyediaan listrik. Konsekuensinya, listrik benar-benar menjadi barang ekonomi. Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang akan terus mengurangi subsidi bagi PLN.

Ketiga, faktor politik. Saat ini liberalisasi ekonomi kerap dijalankan oleh pemerintah. Hal itu disinyalir merupakan desakan pihak asing, baik negara-negara asing maupun lembaga-lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF. Kedua lembaga ini selalu mempromosikan liberalisasi sektor listrik pada pemerintah.

Menurut pengamat ekonomi Dr. Hendri Saparini, 90% energi negeri ini telah dikuasai oleh pihak asing. Akibatnya, sumber energi (khusus minyak dan gas) menjadi sangat mahal, dan PLN jelas kena dampaknya. Pasalnya, biaya pemakaian BBM untuk pembangkit-pembangkit PLN mencapai Rp 28.4 Triliun per tahunnya, atau hampir seperempat dari seluruh biaya operasional PLN setiap tahunnya.

Besarnya beban biaya operasional PLN ini lebih karena kebijakan ekonomi Pemerintah yang memaksa PLN membeli sumber energinya dengan harga yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing. Dimana perusahaan-perusahaan asing tersebut memegang kendali dalam industri minyak, gas dan batubara. Disisi lain, lebih dari 70% batubara dan lebih dari 55% gas diekspor ke luar negeri, bukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk PLN.

Islam Atasi Krisis Listrik

Sementara dalam sistem Islam pengaturan produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum ini. Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqthishadiyah al-Mutsla).

Negara pun tidak boleh memadamkan listrik seenaknya tanpa banyak mempertimbangkan sebelumnya, apakah berdampak sangat merugikan rakyat atau tidak? Negara juga dilarang menyerahkan kepemilikan umum ataupun penguasaanya kepada pihak swasta berdasarkan hadist Rasulullah Saw : “ Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang gembalaan, air, dan api.” (HR. Ibn Majah).

Oleh karena itu, solusi Islam untuk atasi krisis listrik dapat dilakukan dengan menghentikan liberalisasi energi termasuk listrik, dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama. Tidak menjadi pengelolaan listrik sebagai lahan bisnis meraup keuntungan pihak tertentu, namun pengelolaan tersebut semata-mata ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Semestinya, PLN tidak harus khawatir atas kekurangan pasokan untuk pembangkit listrik. Karena Indonesia memiliki 60 ladang mintak (basins), 38 diantaranya telah dieksplorasi dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya pada tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan 2,26 triliun TCF.

Hal ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri, termasuk PLN. Maka dapat dipastikan bahwa pemadaman listrik seharusnya tidak terjadi lagi, jika mau mengikuti arahan Islam sebagai solusi yang komprehensif.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER