Pembangunan monumen Kapsul Waktu di Merauke Papua menghabis dana Rp 89,9 Miliar. Anggaran berasal dari anggaran kegiatan Ruang Terbuka Hijau pada DIPA APBN di Direktorat Jenderal Cipta Karya. Untuk pembangunan pondasi monumen ini yang mulai dilaksanakan pada 2016 menghabiskan dana sebesar Rp 7 miliar. Sebuah anggaran mercusuar yang sangat fantastis ditengah masyarakat Papua yang masih dilanda rendahnya mutu pendidikan dan status kesehatan yang masih jauh dari harapan.
Pada awal tahun 2018 ini di Kabupaten Asmat salah satu bagian provinsi Papua, telah terjadi kejadian luar biasa gizi buruk yang ditetapkan oleh Pusat Krisis Kesehatan – Kementerian Kesehatan Indonesia. Sampai 1 Februari 2018 sudah 72 orang meninggal dunia.
Pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kesehatan juga masih rendah. Ini menjadi pemicu rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat belum paham arti lingkungan untuk kesehatan. Mereka belum peduli dengan jamban yang layak. Mereka masih belum terganggu untuk buang air besar dan kecil di pekarangan dekat rumah. Bahkan di ibu kota Asmat, Agats, sebagian warganya juga tidak memiliki jamban keluarga.
Jika dilihat lebih jauh, akar dari masalah ini semua adalah karena akses dan ketersediaan pangan, sanitasi dan fasilitas air bersih yang tidak memadai, akses transportasi yang amat mahal atau bahkan tidak tersedia sama sekali, akses dan infrastruktur informasi yang sangat minim, serta pola hidup dan pola asuh yang kurang sehat.
Meski sejak tahun 2001 mendapatkan kewenangan khusus, kondisi pendidikan dan kesehatan di Papua belum menunjukkan kemajuan signifikan. Buruknya kondisi pen¬didikan ini berdampak serius terhadap rendahnya kinerja pembangunan daerah.
Menurut Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko, indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat berada pada posisi terendah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Kenyataan ini mengindikasikan rendahnya kondisi pendidikan dan kesehatan masyarakat. IPM rendah karena banyak penduduknya miskin, tingkat buta huruf yang tinggi, dan kesehatan rendah.
Dalam sebuah kunjungan kerja Komisi X DPR di Manokwari, Papua Barat, ditemukan bahwa persoalan pendidikan di Papua juga terletak pada beban berat tugas mengajar yang tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan perlindungan bagi guru. Persoalan sarana dan prasarana juga menyedihkan. Pendidikan di Papua Barat juga belum menggembirakan. Masih banyak daerah wilayah terpencil yang belum mempunyai gedung sekolah. Tidak adanya rumah guru dan rumah kepala sekolah menjadi sebuah alasan untuk minggatnya guru dari wilayah tersebut. Akibat minimnya guru yang tersedia, banyak anak Papua yang tidak mengenyam pendidikan dengan baik.
Menurut neraca pendidikan daerah yang disusun oleh Kemendikbud diperoleh informasi bahwa persentase anggaran urusan pendidikan di Papua Barat dalam APBD di luar transfer daerah, jauh di bawah 20 persen, hanya sekitar 2-3 persen. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih di bawah rata-rata nasional.
Sementara itu, uji kompetensi guru, baik guru SD, guru SMP, guru SMA, dan guru SMK Papua Barat hasilnya di bawah rata-rata nasional. Indeks Integritas Ujian Nasional juga masih di bawah rata-rata nasional.
Sebuah kebijakan yang kurang bijak, ditengah masyarakat yang masih membutuhkan pendanaan yang besar untuk pendidikan dan peningkatan derajat kesehatannya, pemerintah mengelondorkan uang milyaran rupiah hanya untuk sebuah bangunan yang manfaatnya tidak langsung dinikmati oleh masyarakat Papua. Walaupun dengan adanya monumen Kapsul Waktu ini kunjungan turis akan meningkat, namun karena pendidikan masyarakat yang masih rendah, mereka tidak bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki status ekonomi mereka. Dengan status pendidikan yang rendah ini mereka juga tidak punya filter yang baik terhadap serangan budaya luar yang akan menggerus budaya lokal yang sudah bertahan lama.
Alangkah bijak kiranya pemerintah memanfaaatkan dana pembangunan monumen kapsul waktu untuk memperbaiki pendidikan dan kesehatan masyarakat papua. Masyarakat yang sehat dengan pendidikan yang baik akan dapat membangun sendiri daerahnya tanpa harus tergantung pada bantuan dunia luar.