SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Politik “Biting” Caleg Lokal

Politik “Biting” Caleg Lokal

WARGASERUJI – “Biting” berasal dari bahasa Jawa yang berarti lidi. Orang Jawa dulu menghitung dengan bantuan biting. Kemudian saat pilihan seperti pileg yang diikuti caleg lokal, suara pemilih yang dicari oleh para calon dihitung dengan biting. Satu suara satu biting, dan identik dengan berapa rupiah uang yang dikeluarkan untuk satu biting. Maka, sebut saja sebagai politik “biting”.

Tidak direncana, penulis ngobrol bebas dengan dua caleg dari Perindo dan PAN, satu kader partai PKS, dan satu non partai. Obrolannya sekitar pileg, dan penulis baru tahu kalau sudah lumrah adanya politik “biting” utamanya di tingkat lokal.

Penulis baru tahu, bagaimana caleg-caleg berburu suara itu berat kalau pakai cara idealis. Kebanyakan orang sudah “pasang tarif”, akan mengamankan suara si caleg dengan nominal rupiah tertentu.

Caleg Perindo menguraikan, sudah menjadi seperti tradisi kalau pemilu itu dianggap bagi-bagi uang. Ia bercerita pengalamannya mendampingi kelompok difabel bertahun-tahun, namun saat mendekati pileg datanglah caleg lain yang membuyarkan perolehan suara, hanya dengan beberapa rupiah.

Lain cerita caleg PAN satunya.  Temannya inkumben, menggelontorkan dana aspirasi sangat besar selama menjabat menjadi DPR di dapilnya. Merasa yakin apa yang dilakukan sehingga tak pakai politik “biting“. Hasilnya, tak terpilih kembali.

Penulis mencoba bertanya, apakah dengan mentradisinya politik “biting” ini menghasilkan  anggota DPR terpilih yang berkualitas? Jawabnya, sama sekali tidak.  Maka, tidak heran pandangan terhadap jajaran dewan selalu negatif.

Masyarakat sendiri tidak terlalu paham apa kerja DPR. Mungkin itulah yang membuat para caleg kesulitan mempengaruhi calon pemilih jika dilakukan dengan sikap idealis.  Apalagi, jumlah caleg sangat banyak. Antar satu caleg dengan caleg lainnya tidak begitu kontras kemampuannya.

Ditambah, kebanyakan rakyat masih berada di bawah sejahtera. Cara berfikirnya menjadi ikut sederhana, yakni asal terpenuhi kebutuhannya. Maka penulis menarik kesimpulan atas buruknya kemampuan  hasil pemilu karena tingkat kualitas ekonomi dan pendidikan.

Kondisi ideal dari sebuah pemilu hanya bisa dicapai dalam masyarakat yang sudah makmur dan tingkat kesadaran atas sumber literatur cukup tinggi. Pendek kata, para caleg ini setuju kesimpulan bahwa politik “biting” bisa hilang saat pemilih sudah seperti di negara maju.

Yang sedikit melegakan, masih ada caleg terpilih yang tetap berusaha memunculkan idealismenya, bagaimana mengamankan suara dengan cara pendekatan non “biting“. Memang cukup berat, karena akan selalu berbenturan dengan kanan, kiri, atas, bawah, luar dan dalam.

Disebut “sedikit melegakan”, karena memang sedikit yang masih idealis. Lainnya, yah begitulah.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER