SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Bisnis dalam Kacamata Ustadz Khalid Basalamah

Bisnis dalam Kacamata Ustadz Khalid Basalamah

WARGASERUJI – Dalam sebulah vlog milik keluarga Sungkar (Sungkar’s Family), Ustadz Khalid Basalamah yang ditemui Irwansyah dan Wisnu, menjelaskan orientasi bisnis yang dijalankannya. Menurut “kacamata” ilmu, usaha yang dilakukan seharusnya bukan untuk keduniaan, melainkan sebagai misi ke akhirat.

Kesimpulan itu muncul saat Irwansyah dan Wisnu menanyakan kiat-kiat menjadi pengusaha muslim. Kiat pertama adalah keikhlasan, yang sekaligus menjadi pondasi dari beberapa kiat selanjutnya.

Keikhlasan yang dimaksud Ustadz Khalid Basalamah adalah niat yang benar saat menjadi pengusaha. Beliau mencontohkan, bahwa sesuatu yang mubah bisa menjadi sunnah dan berpahala ketika niatnya benar. Seperti, tidur. Tidur itu asal hukumnya mubah. Namun, ketika niat tidur adalah untuk memberikan hak jasad beristirahat, maka menjadi pahala. Demikian pula makan, minum dan lainnya.

Maka, disebut ikhlas kalau menjadi pengusaha itu niatnya agar mendapat ridha Allah. Ustadz Khalid Basalamah kemudian menyitir sebuah hadits tentang keutamaan seorang pengusaha yang jujur dan amanah. Menjadi pengusaha tentu harus dengan semangat meraih keutamaan yang dijanjikan Allah kepadanya.

Kiat kedua, bahwa ada misi dakwah dengan memberi contoh usaha yang benar secara syariat. Harus ada misi membangun bisnis sebagai cara untuk mematahkan  anggapan banyak orang di Indonesia, bahwa usaha bila ingin berhasil maka harus menggunakan “penglaris”, yang tentu bertentangan dengan aqidah .   Contoh usaha yang akan “aman” menurut Ustadz Khalid, cukup dengan “menu” sederhana, yaitu modalnya halal, sistemnya halal, produknya juga halal. Beberapa usaha yang dijalankan termasuk Restoran Ajwad miliknya yang bertahan sepuluh tahun lebih, terbukti “aman” tanpa kendala yang berarti.

Kiat yang ketiga, bahwa usaha yang dijalankan tidak melulu hanya “untung rugi” dalam jual beli. Usaha adalah “sekedar” menempatkan diri dalam lingkup sosial. Artinya, dijadikan titik untuk mendistribusikan rezeki, dari orang yang mampu sebagai pelanggannya, kepada orang yang membutuhkan seperti musafir dan fakir.

Untuk kiat yang ketiga ini, Ustadz Basalamah memberi contoh dengan kisah seorang miskin yang hendak membeli selimut dengan uang pas-pasan. Kebetulan yang punya toko mengetahui, sehingga mempersilakan si orang miskin untuk memilih sendiri.

Si pemilik toko tidak memberi cuma-cuma, namun dengan harga murah tanpa sepengetahuan si miskin. Bukan hanya membantu, si pemilik toko juga ingin menjaga hati si miskin agar tidak merasa terhina. Itulah misi sosial yang sebenarnya, membantu dan tetap “memanusiakan”.

Ternyata, dengan kiat-kiat itu, usaha restoran Ajwad tetap bertahan dan selalu ramai. Namun, bisa jadi didukung faktor karena sejak awal berbisnis memang berorientasi spiritual, bukan keduniaan.   Misalnya, muncul ide membuat restoran ala arab di Jakarta bukan karena peluang keuntungan, melainkan karena adanya kesulitan dari para jamaah haji. Ketika datang ke tanah suci, mereka melewatkan kesempatan “mencicipi” menu-menu hidangan khas dan hanya makan makanan ala Indonesia.

Alasan yang biasa dikemukakan warga Indonesia adalah karena ketidaktahuan bahasa, rasa dan harga. Oleh karena itulah merasa perlu ada restoran ala arab di Indonesia, mungkin sebagai “pemanasan” sebelum menginjakkan kaki di Arab sana.   Bahkan, pemilihan “menu ala arab” pun diniati untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang sunnah Rasulullah saw. Misalnya, menu utama daging kambing yang digemari Rasulullah. Selain tentu saja, melihat adanya berbagai restoran asing dari negeri non muslim yang menjamur, padahal konsumennya juga kebanyakan muslim. Jadi, berbeda dengan para pengusaha pada umumnya, “peluang bisnis” ditempatkan dalam prioritas yang kedua setelah misi spiritualnya.

Pun, dalam operasional usaha, spiritual lebih dikedepankan daripada sekedar keuntungan usaha. Contoh yang paling mencolok, adanya program wajib shalat berjamaah di masjid (tak ada karyawan perempuan),  serta program tahsin dan tahfidz yang wajib diikuti semua karyawan. Jika tidak mau mengikuti program, maka menjadi pertimbangan untuk diberhentikan. Bukan kedisiplinan kerja yang jadi tolok ukur utama.   Niatnya juga baik, yaitu agar karyawan nantinya menjadi hafidz Quran. Bahkan, bagi yang bisa menyelesaikan lebih cepat, ada bonus yang diberikan.

Andai bukan spiritualitas yang diutamakan, pastilah karyawannya hanya dipacu untuk disiplin bekerja dan bekerja, hanya demi keuntungan dunia.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER