Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas I dan kelas II, naik 100 persen. Rencananya, kenaikan iuran kesehatan ini akan dimulai pada Januari 2020. Sehingga, pemerintah masih memiliki waktu untuk menyosialisasikan kepada masyarakat, ujarnya. Sri Mulyani mematok kenaikan harga lebih tinggi dibanding usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Untuk peserta BPJS kelas I, iuran akan naik dari semula Rp 80.000, menjadi Rp 160.000. Sementara untuk BPJS kelas II, Sri Mulyani usulkan dari setoran per bulan Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Dalam usulannya kepada pemerintah, semula DJSN merencanakan kenaikan iuran untuk kelas I naik menjadi Rp 120 ribu. Sedangkan kelas II diusulkan dari Rp 51.000, naik menjadi Rp 75.000. Untuk 2020 kami usulkan kelas II dan kelas I, jumlah yang diusulkan oleh DJSN perlu dinaikkan,” kata Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi IX, Senayan, Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019.
Alasan kenaikan ini adalah untuk menutupi keungan BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit. Keputusan ini pun menuai kritik dari masyarakat. Di tengah beban hidup yang kian berat, menaikkan iuran BPJS ini dianggap tidak tepat.
Anggota Komisi II DPRD Kota Medan, Jumadi S. Pdi, menilai wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh pemerintah akan memberatkan masyarakat. Terlebih lagi pihak penyelenggara tidak menanggung sejumlah penyakit. Salah satu faktor pemicu rakyat keberatan dalam menerima kenaikan iuran adalah karena masalah ekonomi di masyarakat bawah, warga yang menggunakan BPJS Kelas III harus merogoh kantongnya hingga ratusan ribu setiap bulannya. Apalagi yang menggunakan fasilitas kelas II dan kelas I.
Pengemudi ojek berbasis aplikasi atau online (Ojol) menjadi salah satu yang menilai kebijakan tersebut sangat memberatkan. Salah satunya Safarudin (34). Menurut Safarudin, naiknya iuran BPJS Kesehatan sangatlah tidak wajar apa lagi hingga mencapai 100% (dua kali lipat). Sedangkan penghasilan tidak tetap. Apalagi terkadang orderan sepi. Itu sangat berpengaruh kepada keuangan dan bisa saja BPJS nantinya tidak terbayar, saat ditemui kitakininews, Senin (2/9/2019).
Sejak resmi beroperasi pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memang tak pernah sepi dari kontorversi. Setidaknya ada beberapa hal yang sering mengemuka.
Pertama, BPJS sering disebut sebagai jaminan kesehatan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Kenyataannya, para peserta diwajibkan membayar iuran (premi) tiap bulan sebagaimana dalam asuransi. Bahkan iurannya kini akan naik hingga 100 persen. Maka, pada dasarnya tak ada jaminan dari pemerintah, karena masyarakat sendiri yang membayarnya demi mendapatkan pelayanan. Jika tak ikut kepesertaan, tak berhak untuk dilayani kecuali dengan menjadi pasien umum dengan biaya yang lebih besar. Kedua, dalam banyak kasus, pelayanan yang diberikan seringkali tidak maksimal. Terutama untuk kasus penyakit berat yang membutuhkan biaya besar. Klaim ditolak, atau peserta harus membayar sendiri jenis tindakan medis/obat tertentu yang tidak masuk dalam klaim BPJS. Ketiga, keberadaan BPJS diduga merupakan bentuk lepasnya tanggungjawab pemerintah dalam mengurusi urusan rakyatnya dalam bidang kesehatan. Faktanya, sekian tahun berjalan, pro-kontra tidak pernah usai. Mulai dari pelayanan yang kian berbelit, tidak optimal, hingga iuran yang kini akan dinaikkan. Ini sejatinya menunjukkan kegagalan pemerintah dan lembaga penjamin dalam memenuhi hajat hidup kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, memang benar sebagian masyarakat telah merasakan keberadaan BPJS. Tidak dipungut bayaran meski untuk kasus-kasus berat seperti operasi, perawatan ICU dan lain-lain. Namun, tidak semua peserta pengguna BPJS merasakan mamfaat tersebut. Bagi yang sakit, mungkin akan sangat terbantu, tapi bagi yang tidak sakit, tidak akan medapatkan apa-apa. Sementara iuran BPJS Kesehatan harus tetap wajib dibayar. Bahkan jika telat dalam pembayaran, maka akan kena denda.
Jika ada yang mengatakan, “ Bukankah mamfaatnya akan dirasakan pada masa depan jika dia sakit?”. Justru disitulah ada unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty) dari BPJS itu. Karena, seseorang tidak tahu pasti apakah dia akan sakit atau tidak pada masa mendatang. Jadi bayarnya pasti, tetapi mamfaatnya tidak pasti. Adilkah muamalah seperti ini? (KH. M. Shiddiq Al Jawi/ Alwa’l, September 2015.
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Karenanya, Islam telah mewajibkan penguasa untuk memberikan pelayanan secara gratis kepada rakyatnya yang membutuhkan perawatan medis. Hal ini berdasarkan pada apa yang telah dicontohkan oleh Nabi saw. Dikisahkan oleh Jabir ra bahwa: “Rasulullah saw pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu memasukkan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu. (HR. Abu Dawud).
Selain itu, terdapat juga kisah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata: “Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang makanan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma saking kerasnya diet itu”, (HR. Al Hakim dalam al Mustadrak).
Kedua riwayat diatas menunjukkan pelaksanaan tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya dengan menyediakan layanan kesehatan secara cuma-Cuma. Rasulullah saw dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara Islam di Madinah kala itu telah mengupayakan layanan tindakan medis kepada masyarakatnya yang sakit. Begipun dengan Khalifah Umar bin Khattab, telah memberikan layanan kesehatan dengan memanggilkan dokter untuk rakyatnya yang sedang sakit. Maka, seharusnya demikian tanggungjawab yang harus diberikan oleh penguasa kepada rakyatnya. Menyediakan layanan kesehatan secara gratis. Tanpa membedakan kaya dan miskin, semua harus mendapatkannya sesuai kebutuhan. Karena kesehatan adalah kebutuhan dasar, yang setiap orang akan memerlukannya.
Terkait pembiayaannya, darimana negara akan mendapatkan dana untuk alokasi kesehatan yang begitu besar?. Dalam hal ini, dana bisa berasal dari hasil kekayaan milik umum yang dikelola negara (seperti hasil tambang, kekayaan laut, hutan, dll). Atau harta negara yang diperoleh melalui pos-pos yang dibenarkan secara syar’i. Karena itu, dalam Islam harta milik umum haram dimiliki oleh individu atau swasta. Keberadaanya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan gratis seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Sehingga amanah mengurusi kebutuhan rakyat bagi penguasa itu hanya berjalan optimal dalam sistem negara Islam. Sistem yang menjadikan keimanan kepada Allah sebagai landasan, dimana Khalifah (pemimpin) mengurusi urusan rakyatnya semata dalam rangka mengabdi pada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah saw bersabda, “ Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana pengembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya”. (HR al-Bukhari).
Wallahu A’lam Bishowab.
Mega Sari Lingga, S.Pd
Mahasiswa Pascasarjana Unimed