WARGASERUJI – Barusan membaca berita di SERUJI, bahwa Presiden Jokowi menerima Medali Kemerdekaan Pers di Hari Pers Nasional tahun 2019 yang berlangsung di Surabaya pada hari ini (baca disini). Sebuah penghargaan tertinggi dari insan pers kepada perorangan atau lembaga yang dinilai berjasa bagi perkembangan pers di tanah air.
“Kami ucapkan selamat dan merupakan bagian dari apresiasi kepada Presiden yang sangat berperan di dunia pers selama ini,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, yang menyerahkan medali tersebut kepada Presiden dalam sambutannya.
Dalam berita tersebut tidak disebutkan contoh peran Jokowi dalam dunia pers. Entah karena tidak dikutip atau ketua dewan pers memang tidak memberikan contoh.
Tiba-tiba saya teringat sebuah tulisan di SERUJI beberapa waktu lalu (15 Januari 2019) yang berjudul “Amien Rais Beberkan Bukti Pemerintahan Jokowi Otoriter”. Dalam tulisan itu Amien Rais membeberkan 3 ciri otoriterisme pada pemerintahan Jokowi, salah satunya adalah penguasaan pada media massa. Amien menyebut pemerintahan Jokowi berhasil menguasai media massa sampai 95 persen.
Sebagai masyarakat yang suka mengamati kebijakan publik, saya merasakan mayoritas pers akhir-akhir ini kurang kritis pada kebijakan pemerintah. Contoh ketika BBM naik, yang pada pemerintahan sebelumnya selalu menghiasi headline media massa, dan sangat ramai dibahas oleh para pakar mengenai efek dominonya pada masyarakat.
Tapi pada pemeritahan saat ini kenaikan harga BBM hanya menjadi berita ringan dan seolah-olah masayarakat ikhlas menerima. Dan masih banyak lagi contoh yang lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu disini.
Saya hanya khawatir puncak peringatan HPN hari ini, sekaligus merupakan puncak matinya pers Nasional. Saya khawatir apa yang dikatakan Amien Rais itu benar, bahwa pemrintahan Jokowi telah menguasai 95 persen media massa.
Bila Jokowi pada debat presiden mengakui bahwa dia tidak punya banyak uang, lantas bagaimana caranya pemerintahannya mampu menguasai media massa sampai 95 persen?. Yang kata Amien Rais pak Harto pun tak mampu menguasai media massa sampai sebesar itu.