Terjadi sebuah kemunduran dalam demokrasi jika menggunakan kepala daerah sebagai juru kampanye. Walaupun dalam Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 seorang kepala daaerah tidak dilarang untuk menjadi juru kampanye seorang kandidat, namun jabatannya sebagai kepala daerah tidak mungkin dipisahkan dari dirinya selama dia masih menjabat. Masyarakat banyak akan melihat bahwa dia adalah pendukung sang kandidat. Nilainya dimata masyarakat akan turun jika ternyata rakyatnya banyak dengan pilihan yang berbeda. Dengan demikian jika ternyata nanti sang kandidat yang diusung kalah, maka wibawanya sebagai pemimpin daerah semakin luntur.
Peraturan KPU No 4 Tahun 2017 pada pasal 63 menyatakan bahwa Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, Anggota DPR. DPD, DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota, pejabat negara lainnya, atau pejabat daerah dapat ikut kegiatan kampanye dengan mengajukan izin cuti kampanye di luar tanggungan Negara dan para pejabat negara dilarang menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatannya untuk kepentingan pemenangan dalam Pemilihan, serta dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang terkait dengan jabatannya, yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon lain di wilayah kewenangannya dan di wilayah lain, namun pada adatnya jabatan yang sudah lengket dipundaknya akan tetap berpengaruh pada konstituen terutama yang ada dalam wilayah yang dipimpinnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pimpinan daerah yang terlibat dalam kampanye banyak atau sedikit akan berpengaruh dalam setiap kebijakannya. Sebagai contoh pada sebuah video yang viral di media sosial, seorang bupati terang-terangan mengatakan kepada penerima bantuan bahwa bantuan yang diserahkannya adalah dari Jokowi. Ini sebuah pembelokan opini yang terjadi oleh seorang kepala daerah saat menunaikan tugas. Padahal bantuan yang dia serahkan adalah bantuan darai pemerintah, bukan dari jokowi sebagai kandidat.
Dimedia kita membaca dan mendengar kepala daerah beramai ramai menyatakan dukungan untuk pemenangan Jokowi bahkan ada yang ditunjuk langsung sebagai juru kampanye. Secara hukum, memang tidak salah dan itu sah-sah saja sebagaimana telah diatur oleh PKPU. Namun secara etika dan kepatutan perlu dipertanyakan.
Seseorang yang sudah terpilih sebagai kepala daerah, dia adalah milik seluruh masyarakat daerahnya dan perjuangannya adalah untuk seluruh rakyat yang dinaunginya, bukan untuk satu kelompok atau golongan. Rakyatnya bukan hanya orang yang memilihnya saat pemilu, tapi adalah semua masyarakat yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Untuk itu baju kepartaiannya dan keberpihakannya pada satu kelompok atau kandidat harus dia tanggalkan selama dia menjabat sebagai kepala daerah.
Jika seorang kepala daerah ikut jadi jurukampanye salah satu kandidat, persoalan akan lebih nyata ketika kepala daerah dan wakilnya mengusung kandidat berbeda. Perbedaan ini menimbulkan keretakan dalam kepemimpinan mereka di daerah yang tentu saja akan berdampak pada kebijakannya kedepan. Disaat kampanye dulu mereka bisa bersatu karena satu tujuan, maka saat pilpres mereka berselisih karena berbeda pandangan.