SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Demokrasi Dan Kutu Loncat

Demokrasi Dan Kutu Loncat

Demokrasi memang sesuatu yang unik, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi.  Seorang yang dulunya tidak pernah dikenal, sekarang bisa menjadi anggota legislatif.  Satu keluarga bisa terlibat dalam politik dengan partai yang berbeda.  Ayah di partai A, ibu di partai B dan anak di partai C.  Juga ada yang gonta ganti partai dari pemilu ke pemilu.  Dengan kepiawaiannya bahkan bisa duduk sebagai ketua dipengurusan partai.  Walaupun hanya pengurus di tingkat daerah, tapi punya peran yang bermakna di kepengurusan yang dia pimpin.

Tidak tahu kita, apa sebenarnya yang mereka cari.  Jika hanya untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan visi dan misinya, apakah mungkin visi dan bisinya berganti setiap pemilu digelar, sehingga dia juga harus ganti partai.  Ironis sekali jika dalam satu keluarga dengan banyak partai, tentu akan punya visi yang beragam juga.  Bagaimana mereka dalam keluarga jika setiap individu anggotanya punya orientasi dan visi yang tidak satu. 

Untuk mereka yang sering pindah partai, sering disebut sebagai politisi kutu loncat.  Dalam arti kiasan kutu loncat berarti orang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain.  Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menyesalkan terjadinya fenomena pindah-pindah partai ini.  Menurut Syamsuddin, banyaknya politisi kutu loncat juga menandakan pragmatisme politik yang luar biasa. Sehingga muncul opini bahwa setiap orang bisa pindah-pindah partai sesuka hati, padahal hal itu secara etik tidak layak dilakukan.

Berpindah partai dari satu partai ke partai lain memang bukan hal baru.  Bahkan tidak sedikit elite politik yang justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke partai politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa yang akan datang. Umumnya, partai politik yang menjadi sandaran elite yang demikian adalah partai politik yang dekat dengan penguasa dan wibawanya sedang berada di atas angin. 

 Ada politisi yang menyatakan bahwa mereka pindah partai karena pertimbangan dia tidak diakomodir sebagai bacaleg.  Ada yang memberikan alasan bahwa partai barunya lebih menjanjikan dibandingkan partai yang ditinggal.  Namun juga ada yang kecewa sebagai imbas dari kontestasi pemilihan gubernur atau  pemilihan wali kota dan pemilihan bupati, dan juga ada yang beralasan karena kecewa dengan sikap pengurus pusat yang dinilai keluar dari platform partai.  Berbagai alasan muncul untuk membenarkan sikap yang mereka pilih.

Partai yang ditinggal tentu saja akan rugi dan kecewa.  Apalagi tidak sedikit di antara partai politik yang ditinggalkan adalah partai politik pertama yang telah membesarkan nama dan karier politik yang bersangkutan.  Namun, ketika kekuasaan telah berada dalam genggaman, seolah mereka lupa diri dan mulai memasang harga.

Karakter politisi kutu loncat, memperlihatkan bahwa mereka hanya memburu karir untuk mendapatkan kekuasaan.  Selagi menguntungkan karir politiknya, dia akan melakukannya sekalipun sikapnya melanggar etika.  Sementara disisi lain, partaipun masih lemah dalam pengkaderan.   Untuk mendapatkan suara, dalam pendaftaran bacaleg partai merekrut tokoh yang sudah punya nama dan punya peluang untuk meraup suara banyak.  Dengan demikian parpol tidak perlu mengeluarkan tenaga dan waktu lebih untuk mendulang suara. 

Fenomena ini akan menumbuhkan pragmatisme politik yang kronik.  Pemilu hanya jadi momen untuk menduduki jabatan tanpa kesungguhan untuk memikirkan persoalan bangsa.  Di sisi lain, mudahnya politisi berpindah-pindah partai politik untuk bertarung dalam pemilu menjadi tanda lemahnya idiologi partai politik.  Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak sehat bagi demokrasi karena aktivitas politik di partai didekati secara pragmatis bukan ideologis.

Akhirnya muncul pertanyaan, sejauh mana sesungguhnya komitmen para politisi dengan karakter kutu loncat dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat?  Sejauh mana juga peran partai dalam menyiapkan kadernya yang akan ditawarkan pada rakyat untuk memperjuangkan nasibnya.   Semuanya kita serahkan pada rakyat untuk memilih yang terbaik.  Masyarakat sudah punya pengalaman banyak dan lebih cerdik dalam menentukan pilihannya.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER