Sebuah program yang baik jika dilaksanakan dengan arogansi kekuasaan, akan memberikan dampak buruk lebih banyak dari kebaikan yang dihasilkannya. Karena arogansi kekuasaan terjadi akibat nafsu yang tidak ingin dikalahkan. Akibatnya rasional tertutupi dan sanubaripun terlangkahi. Inilah saya kira yang terjadi pada BPJS kesehatan. Dengan berlindung dibalik undang undang JKN, pengelola BPJS Kesehatan mengeluarkan kebijakan yang kurang bijak.
Sekarang BPJS mengeluarkan aturan penanganan katarak dengan ECCE dan membatasi penggunaan Fakoemulsifikasi yang selama ini sudah diketahui hasilnya lebih baik dan lebih nyaman. Jika ECCE dilaksanakan setelah visus 6/60, sementara Fakoemulsifikasi sudah bisa dilakukan ketika visus 6/18.
Artinya untuk sampai ke tahapan pelaksanaan ECCE, seseorang harus menjadi buta atau hampir buta lebih dahulu karena menunggu kataraknya matang. Akibatnya seorang pekerja yang menderita katarak harus jadi tidak produktif dulu baru bisa dioperasi. Sedangkan dengan menggunakan fakoemulsifikasi seseorang yang baru mulai rabun dan mulai terganggu produktifitasnya sudah bisa dilakukan operasi.
Keputusan BPJS Kesehatan menghentikan fakoemulsifikasi dan menggantinya dengan ECCE sangat baik dari sisi pembiayaan, tetapi dari sisi mutu kerja sungguh sangat tidak bagus karena mengakibatkan seseorang menjadi tidak produtif dan nyaris buta baru dioperasi. Masyarakat dan perusahaan pengguna jasa BPJS Kesehatan jelas sangat dirugikan dengan keputusan ini. Tenaga kerja produktif harus menunggu hampir buta, baru mendapat pertindakan.
Kebijakan BPJS Kesehatan yang juga tidak jauh beda adalah pengobatan kanker payudara. Kanker payudara merupakan penyakit kanker yang banyak menyerang kalangan perempuan. Kanker ini yang paling agresif pertumbuhannya adalah kanker payudara HER2-positif.
Salah satu terapi yang selama ini dianggap paling efektif menekan pertumbuhan kanker payudara HER 2-positif ini adalah menggunakan obat trastuzumab. Pengalaman klinikus baik di Indonesia maupun berbagai belahan dunia lainnya membuktikan keampuhan terapi tersebut.
Namun sejak per 1 April 2018 lalu, BPJS Kesehatan atas dasar rekomendasi Dewan Pertimbangan Klinis, justru mengumumkan bahwa tidak lagi menjamin obat jenis trastuzumab untuk pasien kanker payudara dengan alasan obat tersebut dinyatakan tidak efektif dan tidak memiliki indikasi medis untuk pengobatan kanker payudara metastase. Pasien kanker payudara akan mendapatkan obat lain yang tercantum di dalam Formularium Nasional.
Keputusan BPJS Kesehatan ini telah ditentang berbagai kalangan mulai dari pasien dan organisasi pasien yang sudah merasakan hasil pengobatan menggunakan trastuzumab hingga kalangan dokter maupun akademisi
Dr Ronald Hukom, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) Cabang DKI Jakarta, menyatakan bahwa kasus penghapusan obat ini diprotes banyak pihak dan sudah merugikan cukup banyak pasien yang memerlukannya. WHO pun merekomendasikan obat trastuzumab sebagai pengobatan lini pertama untuk jenis kanker payudara dengan HER2-positif, dan belum dapat digantikan oleh obat lain.
Aryanthi Baramuli, Ketua Cancer Information and Support Center (CISC) juga keberatan dengan keputusan ini karena obat itu amat diperlukan dan harganya terbilang sangat mahal dan memberatkan ekonomi para penderita kanker payudara.
Prof Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menyatakan bahwa Hak dan wewenang untuk mencabut atau menyatakan suatu layanan atau terapi baru tidak dijamin, ada pada Komisi Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) di Kementerian Kesehatan. BPJS bukan perusahaan asuransi yang punya kewenangan untuk menetapkan paket manfaat. Kewenangan itu ada pada wakil rakyat di KPTK, melalui anggota KPTK yang merupakan orang-orang yang ahli dan kompeten dalam menilai perlu tidaknya suatu terapi dan terjangkau tidaknya suatu terapi oleh JKN.
PB IDI, PERSI dan Kementerian Kesehatan RI belum lama ini, juga menolak diberlakukannya Perdir BPJS nomor 02 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Pasien Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Perdir BPJS nomor 03 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi baru Lahir Sehat dalam program Jaminan Kesehatan dan Perdir BPJS nomor 05 tahun 2018 tentang Penjaminan pelayanan Rehabilitasi Medik Dalam Program Jaminan Kesehatan. Kemenkes minta agar aturan itu tidak diberlakukan sebelum dibahas bersama Kementrian Kesehatan. Sedangkan IDI minta agar BPJS Kesehatan tidak memasuki ranah medis dan melakukan revisi peraturan tersebut dengan melibatkan PB IDI, Perhimpunan, PERSI dan stakeholder serta Kementrian Kesehatan.
Akankah BPJS Kesehatan bersikukuh dengan Peraturannya dan mengabaikan pendapat serta kritikan dari berbagai pihak ataukah akan menerima masukan untuk perbaikan mutu layanan dan kebaikan bagi masyarakat pengguna layanan BPJS Kesehatan yang telah diamanatkan undang-undang JKN. Kita berharap semoga pengelola BPJS Kesehatan bisa lebih bijaksana dalam mengambil sebuah kebijakan. (Simpang Empat, Juli 2018)