WARGASERUJI – Semua kebijakan pemimpin di era demokrasi adalah sasaran kritik warganya, tak terkecuali Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Semua warga Jakarta berhak mempertanyakan kebijakan Bambu Getah Getih yang pembiayaannya dianggap terlalu besar untuk waktu yang sebentar, sekitar setengah miliar. Setelah dijawab nantinya, warga berhak setuju atau tidak setuju. Begitulah demokrasi.
Anies menjawab bahwa anggaran instalasi Bambu Getah Getih memperhatikan kepada siapa yang mendapatkan manfaat, dalam hal ini dipilih kepada rakyat kecil petani bambu.
“Anggaran itu ke mana perginya, perginya ke petani bambu. Uang itu diterima oleh rakyat kecil. Kalau saya memilih besi, maka itu impor dari Tiongkok mungkin besinya. Uangnya justru tidak ke rakyat kecil. Tapi kalau ini, justru Rp 550 juta itu diterima siapa? Petani bambu, perajin bambu,” kata Anies.
Anies juga menjelaskan bahwa instalasi bambu itu untuk masa hanya enam bulan, dalam rangka menyambut Asian Games.
“Proyeksinya 6 bulan, memang bambu ada masa hidupnya. Alhamdulillah sekarang bisa 11 bulan. Semua yang kita pasang kemarin dalam rangka Asian Games,” jelas Anies.
Anies lebih memilih bambu karena jelas produk lokal bukan impor, dan dikerjakan oleh pengrajin lokal pula. Alasannya, agar semua biaya diterima oleh rakyat kebanyakan.
“Kalau yang lain menggunakan besi belum tentu produksi itu produksi dalam negeri. Tapi kalau bambu, hampir saya pastikan tidak ada bambu impor. Bambunya produksi Jawa Barat, dikerjakannya oleh petani oleh perajin lokal. Jadi angka yang kemarin kita keluarkan diterimanya oleh rakyat kebanyakan,” sebut Anies.
Kebijakan yang Dikritik DPRD
Anggota DPRD DKI Jakarta, salah satunya dari Fraksi Hanura, mengkritik kebijakan penggunaan bambu. Menurutnya, itu sia-sia sejak awal.
“Itu kan sia-sia sebetulnya sejak dari awal sia-sia. Karena sebuah karya seni yang sangat luar biasa sebenarnya. Seharusnya saat itu patung itu tidak dibuat dari bambu, karena bambu itu kan ada usia,” kata Sekretaris Fraksi Hanura DPRD DKI Jakarta, Veri Yonnefil.
Anggota DPRD sebagai wakil rakyat berhak mengkritik eksekutif. Itu biasa, tak masalah. Namun, jika kebijakan itu sudah masuk anggaran berarti sudah disetujui DPRD. Karena itu, entah itu bambu atau besi seharusnya sudah tak perlu dibicarakan lagi.
Terkait setuju atau tidak setuju, semua kembali kepada preferensi masing-masing. Sebagian orang setuju karena itu menguntungkan petani. Sebagian tidak setuju, karena melihat anggaran yang cukup besar hanya untuk waktu yang sebentar.
Bahkan, instalasi seni yang dipajang pun tetap menimbulkan perbedaan pendapat. Sebagian lebih suka instalasi monumental, yang tak lekang waktu. Sebagian lagi memilih selalu ada perubahan dari waktu ke waktu.
Namun, setuju dan tidak setuju seperti di atas itu bagus, asal bukan yang asal setuju dan asal tidak setuju. Yang tidak bagus itu munculnya karena suka atau tidak suka ke personal, atau karena sedang mendapat angin politik searah atau berlawanan.
Sayangnya, suka dan tidak suka ke personal mendominasi ranah media sosial. Media sosial jadi tempat orang menumpahkan caci maki dan sumpah serapah. Tidak bisa dipisahkan antara orang yang mengkritik dengan menghina. Maka, tak heran jika persoalan yang sepele berubah menjadi panas.
Jadi, mendiamkan atau mempertanyakan kebijakan Bambu Getah Getih sama sepelenya. Tak usah terlalu bawa perasaan. Setuju?