SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Gelandangan Bahagia

Gelandangan Bahagia

WARGASERUJI – Bahkan, gelandangan pun bisa bahagia. Bahagia bukan diukur dari banyaknya fasilitas hidup yang diterima. Bahagia itu ketika apa yang diharapkan tercukupi. Maka, tak heran, ada gelandangan bahagia. Berikut, cuplikan kisah dua gelandangan yang bahagia tanpa menjadi kaya.

Amy Joe, tunawisma di Amerika ini tidak meminta-minta. Ia senang dengan penghasilan ala kadarnya. Ketika ada orang yang mengiba kasihan dan akan memberinya uang, ia memilih menolaknya dan hanya minta diajari membaca.

Akhirnya, Greg Smith, seorang pengusaha di sana, mau mengajarinya setelah merasa kagum dengan sikap Amy Joe. Mereka pun bersahabat. Amy Joe sudah merasa bahagia karena bisa membaca.

Kedua, Simon Lee. Pria Hongkong ini sengaja memilih hidup menggelandang setelah memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Menurutnya, dia bisa menjalani hidup bebas tanpa tekanan.

Simon Lee merasa tak perlu sewa atau membeli rumah, bisa tidur di mana saja. Bahkan katanya, hal itu mengatasi banyak masalahnya.

Untuk urusan hidup sehari-hari, dirinya merasa tak butuh uang, karena cukup dengan sisa-sisa makanan di restoran yang ia dapatkan. Karena tak butuh uang, ia senang karena tak perlu bekerja. Ia juga tidak mengejar popularitas atau kekayaan.

Masalah pakaian juga terselesaikan, karena banyak orang yang menyumbangkan pakaian sisa. Katanya, di Hongkong banyak orang kaya membuang sampah yang masih bisa ia manfaatkan. Ia sudah merasa cukup dengan hidupnya yang seperti itu.

Kalau ukuran bahagia itu telah mencapai apa yang diharapkan, kedua tunawisma di atas termasuk orang bahagia. Tapi, tak semua orang seperti itu. Ada orang yang sedang merintis harapan, dan belum merasa bahagia. Ada pula yang sudah mencapai apa yang diharapkan, namun tak juga membuatnya bahagia. Ada lagi yang datar-datar saja, hidup mengalir tanpa tujuan, seperti robot yang tak punya keinginan.

Kalau ada orang yang sudah mencapai harapannya namun merasa tidak bahagia, bisa saja karena sudah jadi budak kesenangan. Padahal, kesenangan selalu ada batas bosannya. Orang seperti ini tak akan pernah puas, dan tak akan pernah benar-benar bahagia.

Ada yang lebih baik daripada dua orang tunawisma tersebut. Siapa itu? Mereka orang yang beriman. Ketika mendapat musibah, mereka bisa bersabar bahkan bersyukur. Apalagi saat mendapat nikmat, berlipat-lipat bahagianya. Mengapa bisa begitu? Mereka bisa bahagia karena punya harapan tertinggi, yakni keyakinan akan bertemu dengan sumber kebahagiaan, Tuhan Pencipta.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER