Saya terkesan membaca sebuah berita yang dimuat di liputan6.com pada 30 Maret 2019 yang berjudul MUI ingatkan Jokowi dan Prabowo hindari penggunaan isu keagamaan, yang berisi nasehat prof. Din Syamsuddin kepada para kontestan pilpres.
Meski nasehat itu ditujukan pada kedua kubu, tapi saya merasa nasehat itu bagus diterapkan oleh kita semua sebagai rakyat indonesia baik bagi kedua kubu yang aktif kampanye, maupun bagi partisan pemilu yang pasif kampanye serta yang golput sekalipun.
Ada 5 poin yang beliau tekankan:
1. mengingatkan kepada kedua kubu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk menghindari penggunaan isu keagamaan seperti penyebutan khilafah. Karena, dia menilai, itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat menjelekkan pada pilpres 2019 ini
2. walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Alquran adalah ajaran Islam yang mulia. Manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi atau ‘khalifatullah fil ardh
3. mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan negara Islam dengan negara Pancasila, yang sesungguh sudah lama selesai dengan penegasan negara Pancasila sebagai ‘Darul Ahdi was Syahadah’ atau negara kesepakatan dan kesaksian. Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam
4. menisbatkan sesuatu yang dianggap anti-Pancasila terhadap suatu kelompok adalah labelisasi dan generalisasi yang berbahaya. Sehingga, dikhawatirkandapat menciptakan suasana perpecahan di tubuh bangsa Indonesia.
5. mengimbau segenap elemen bangsa agar jangan terpengaruh apalagi terprovokasi dengan pikiran-pikiran yang tidak relevan dan kondusif bagi Pemilu 2019 yang damai. Mari kita ciptakan Pemilu/Pilpres yang damai, berkualitas, berkeadilan, dan berkeadaban.
Saya merasakan kesejukan dalam nasehat beliau ini, serasa ada perlindungan dan penghargaan pada kedua kelompok baik kelompok yang berpemahan bahwa negara pancasila itu bertentangan dengan negara khilafah maupun kelompok yang berpandangan sebaliknya bahwa negara pancasila bertentangan dengan khilafah..
Bagi kelompok yang pro negara khilafah beliau menghargai dengan mengatakan bahwa khilafah yang disebut dalam Alquran adalah ajaran islam yang mulia. Sedangkan bagi yang kelompok yang pro negara pancasila beliau menghargai bahwa negara pancasila merupakan negara kesepakatan dan kesaksian.
Dengan arif beliau merangkul kedua kelompok itu disertai nasehat yang bijak dan menyejukkan agar jangan terprovokasi.
Beberapa tokoh agama mengkritik seruan beliau tersebut, ada yang menganggap pemahaman bahasa arab beliau kurang mumpuni, ada yang bilang beliau tak mampu membedakan istilah khilafah dan khalifah, ada yang bilang beliau sesat dan menyesatkan, Ada yang bilang sikap beliau ambivalen dll.
Saya bukan orang yang punya kapasitas untuk menilai perbedaan pendapat tersebut, tapi saya bisa belajar dari cara prof Din menanggapi kritikan. Beliau tidak menjawab dengan sahut menyahut di area publik dengan merendahkan pengkritiknya, sebagian dihubungi beliau secara japri dengan tetap mengedepankan ukhuwah dan menghormati dalam perbedaan.
Selain itu beliau juga menjawab dalam bentuk tulisan yang dimuat di sangpencerah.co.id pada 1 April 2019 ber judul “Jawaban Din Syamsuddin soal khilafah dan khalifah”. Kearifan dan rendah hati tersirat dan tersurat pada tulisan tersebut. Sama sekali tidak menampakkan dendam maupun merendahkan mereka yang berbeda pendapat dengan beliau. Justru beliau mengucapkan terimakasih bagi yang menanggapi positif maupun negatif.
Terimakasih Prof Din atas keteladanannya.