Bismillah.
Kembali publik ramai dengan istilah Islam Nusantara setelah kemunculannya beberapa tahun lalu dan sempat tenggelam. Namun kini kembali heboh seusai cuitan Prof. Mahfud MD pada 22 April 2017 yang mengutip berita Tribunnews yang berjudul “Mahfud MD: Dakwah Kita Meng-Indonesiakan Islam, Bukan Meng-Islamkan Indonesia”.
Mahfud MD: Dakwah Kita Meng-Indonesiakan Islam, Bukan Meng-Islamkan Indonesia – https://t.co/r4dg2WDrAG Mobile https://t.co/cBFAawhvTz
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) April 22, 2017
Kemudian disusul para selebtwit liberal seperti Ahmad Sahal, Nadirsyah Hosen yang sibuk mempromosikan Islam Nusantara dengan berbagai analogi.
Sedikit memutar waktu ke belakang, penulis sempat menulis tentang Islam Nusantara di kanal warga Seruji yang terbit pada 20 November 2017 dengan judul yang sama.
Berikut kutipannya:
Islam Nusantara hadir dengan keinginan untuk mensinkronkan (baca: mencampuradukkan) Islam dengan budaya dan kultur Indonesia. Pengusung Islam Nusantara mengajak umat untuk mengakui dan menerima berbagai budaya sekalipun budaya tersebut kufur, seperti doa bersama antaragama, pernikahan beda agama, menjaga Gereja, merayakan Imlek, Natalan dst. Mereka juga ingin menghidupkan kembali budaya-budaya kaum abangan seperti nyekar, ruwatan, sesajen, blangkonan, sedekah laut dan sedekah bumi (yang dahulu bernama nyadran). Dalam anggapan mereka, Islam di Indonesia adalah agama pendatang yang harus patuh dan tunduk terhadap budaya-budaya Nusantara. Tujuannya agar umat Islam di Indonesia terkesan ramah. Munculnya Islam Nusantara telah menimbulkan konflik, pendangkalan akidah serta menambah perpecahan di tengah-tengah umat.
Ucapan selamat berupa karangan bunga dari Pondok Pesantren Al-Qodir Tanjung Wukirsari Cangkringan Sleman atas peresmian gereja Katholik Santo Fransiskus Xaverius Cangkringan dan keikutsertaan santri pondok tersebut bermain hadroh di gereja tersebut pada acara yang sama pada tanggal 10 Juli 2015, semakin menambah bukti corak Islam Nusantara yang mereka kehendaki.
Pegiat Islam Nusantara mencoba menginterpretasi ulang agama Islam sesuai kemauan hawa nafsu dan syahwat duniawi mereka untuk diselaraskan dengan dunia modern, agar umat Islam bisa menjaga dan berpidato di gereja, dan sebaliknya para pendeta, pastor dan biksu bisa berpidato dan berkhutbah di masjid. Sebagai contoh seorang kiai NU, Gus Nuril Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Multi Agama bernama Soko Tunggaldi Semarang dan Soko Tunggal Abdurrahman Wahid di Rawamangun Jakarta Timur, memberikan ceramah agama di Gereja Bethany Tayu Pati dan beberapa gereja lainnya.
Salah satu pengamalan dan syi’ar Islam Nusantara yang paling fenomenal adalah pembacaan al-Qur’an dengan langgam jawa pada acara peringatan Isra’ Mi’raj di Istana negara, tanggal 15 Mei 2015 dan dilanjutkan “Ngaji al-Qur’an Langgam Jawa dan Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat Gusdurian di Pendopo Hijau Yayasan LkiS di Sorowajan, Bantul, Yogjakarta Rabu 27 Mei 2015.
Tokoh-tokoh yang mempromosikan sekaligus mempopulerkan Islam Nusantara diantaranya adalah Azyumardi Azra, Ahmad Baso, Ahmad Sahal, dan Uli Abshar Abdalla. Mereka yang gencar menyebarkan ajaran Islam Nusantara tak lain adalah orang-orang yang selama ini mengaku sebagai pengusung Islam liberal. Mereka adalah orang-orang yang selama ini mendukung pernikahan sesama jenis, pernikahan beda agama, mendukung pelegalan miras, memaksa-maksa muslim mengikuti dan memberi ucapan selamat pada nonmuslim, mengusung feminisme yang tak lain justru merendahkan harkat dan martabat perempuan, membela pornografi atas dasar seni dan kebebasan, dll.
Dengan demikian, akan sangat mudah disimpulkan bahwa Islam Nusantara hanyalah sekedar ‘baju baru’ para pengusung Islam Liberal.