-Sebuah Cerbung-
Sebelumnya: Terpaksa Jadi Guru (2)
Waktu itu aku mengajar seperti biasa. Dua orang anak tidak bisa diam di dalam kelas. Kuhukum mereka. Seorang ku minta menghafal nilai sinus-cosinus-tangen sudut-sudut istimewa dan seorang lainnya kuminta menghafal nilai kebenaran konjungsi-disjungsi-implikasi-biimplikasi. Tiba-tiba lagi datang dua orang. Mereka mengaku dari pasar melunasi uang peci yang kemarin dibeli. Tapi aku menduga mereka dari warnet. Kuhukum juga mereka seperti dua orang sebelumnya.
Boleh kukatakan bahwa satu dari empat orang yang kuhukum tadi punya tampang yang lumayan, jadi dia punya cukup banyak fans.
Esok hari kuminta mereka berempat maju menyetorkan hafalan. Mereka berempat berdiri di depan. Pintu kelas kubuka lebar biar sejuk. Tiba-tiba si tampan menutup pintu dan dia kira aku tidak menyadarinya.
Aku menengok. “Mas Wahyu,” namanya memang Wahyu. “Kenapa pintunya ditutup? Jadi malu kan?” aku mengolok-olok dan dengan menatap tengil padanya juga pada siswa-siswa yang lain. Mereka berempat malu dan semakin malu ditertawakan teman-temannya yang lain.
—-
Di kelas XI APK hidup seorang murid yang sangat luar biasa. Dia sangat sulit diajak berkomunikasi. Namanya sebut saja Zainul Firdaus. Suatu hari ada razia rambut oleh pak Edi. Kebetulan waktu itu sedang pelajaranku.
Ada empat orang yang kena potong petal –potongan yang disengaja sembarangan biar jelek- salah satunya Firdaus.
Dia benar-benar di luar batas biasa. Tiga orang korban hanya merasa malu dengan model rambut terbaru mereka. Tetapi bagaimana dengan Firdaus? Dia marah-marah, mengomel, mengeluarkan kata-kata kasar tak karuan. Aku hanya merasa sedih melihatnya. Karena aku juga tidak tahu bagaimana latar belakangnya.
“Mas, kamu itu loh anak kelas berapa?” aku bicara di sampingnya. “Hanya dipotong rambut saja, kenapa kamu bertingkah seperti ini? Yang lain kan baik-baik saja.”
Mendengar kata-kataku dia tidak berubah malah mukanya tambah merah.
Lalu di waktu berikutnya di saat aku mengajar, Firdaus kembali tidak bisa diam. Dia ribut mengajak curhat teman di sebelahnya.
Kusuruh dia pindah tempat duduk di depan sendirian.
Tapi dia tetap tidak mau diam. Aku kesal padanya.
Aku mendekatinya lalu sambil sedikit menggoda kukatakan padanya, “Mas, kalau kamu sudah pintar, tidak usah ke sekolah. Kerja saja. Biar dapat uang yang banyak! Kalau kamu tidak bisa matematika, jadi pengusaha sekalipun, –dulu dia pernah bilang padaku bahwa cita-citanya ingin jadi pengusaha karena dia tidak ingin diatur- kamu bisa bangkrut!”
Teman sebelahnya tertawa.
“Iya iya Bu.” Jawabnya lalu diam.
—-
Seperti yang kukatakan tadi bahwa guru sains dan bahasa Inggris sangat berpotensi bahkan dituntut untuk menjadi jahat.
Waktu itu cuaca sangat panas. Aku, Dina, dan Bu Ifa tidak tega masuk kelas. Kami beri saja tugas. Dina dan Bu Ifa adalah guru bahasa Inggris. Kami membicarakan tentang anak-anak. Betapa mereka membuat kami menderita. Kami bertiga memang dikenal sebagai guru yang jahat. Bahkan dulu waktu masih muda, bu Ifa sampai membawa sapu untuk memukul anak yang nakal.
Lalu ada bu Eli, dia guru matematika. Sifat dasar bu Eli adalah lembut. Dulu ketika baru menjadi guru, saat pertama kali bu Eli masuk kelas, ada seorang anak perempuan yang berkata,”Ah buat apa belajar matematika? Mati kan tidak ditanya tentang matematika.” Tentu dengan nada pesimis dan menyedihkan murid perempuan itu mengatakan demikian.
Bu Eli tersinggung dan langsung keluar tanpa mengucap sepatah kata pun. Dan karena itu, dia memutuskan jadi guru yang jahat.
Seandainya waktu itu aku yang menjadi bu Eli, aku akan menghukum anak tersebut. Akan kusuruh dia berdiri di depan kelas atau memberinya tugas sebanyak mungkin. Ini yang namanya shock theraphy. Agar dia belajar tentang sopan-santun juga mengerti arti sebuah perjuangan. Dan sebelum aku melakukan itu, aku akan menjawab pernyataannya tadi, “Memangnya kamu mau mati kapan? Kalau kamu mati nanti ya tidak apa-apa tidak usah belajar matematika.”
Bersambung…