SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Permaafan dalam Kasus Penistaan Agama

Permaafan dalam Kasus Penistaan Agama

Dalam koridor hukum Indonesia dikenal dengan permaafan hakim yang populer dengan istilah Rechterlijk Pardon. Istilah tersebut berangkat dari semangat penafsiran progresif dan reformasi hukum atas kekakuan sistem pemidanaan dalam KUHP. Inti dari permaafan hakim adalah kondisi hakim yang bebas untuk memvonis tidak bersalah atas seseorang yang menjadi terdakwa pidana. Semangat ini diadopsi di beberapa negara atas dasar penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan kemanusiaan.

Di Indonesia, sistem tidak memvonis seorang tergugat bisa dilakukan melalui sistem keadilan pemulihan (restorative justice). Beberapa kasus yang menerapkan restorative justice adalah orang yang terkena kasus penyalahgunaan narkotika, sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2001 tentang Pecandu Narkotika.

Dalam UU tersebut, restorative justice dikedepankan tidak lepas karena cara pandang bahwa penyalahguna narkoba pada hakikatnya adalah korban kejahatan sindikat narkotika. Cara pandang yang kian nge-trend di kalangan penegak hukum yang berujung menggiring terdakwa untuk direhabilitasi.

Dalam kasus anak berhadapan hukum (ABH) pun demikian, mengedepankan restorative justice. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pun tidak mengenal penjara bagi mereka yang masih di bawah usia 18 tahun. Semua anak yang terdakwa pidana dikirim ke “penjara” anak yang berbeda kondisinya dengan penjara dewasa. Hukuman yang diberikan pun maksimal adalah setengah hukuman orang dewasa.

Dalam kasus penistaan agama, apakah dikenal istilah permaafan hakim dan keadilan pemulihan? Istilah restorative justice sangat absurd jika diterapkan pada terdakwa kasus penistaan agama. Selain tidak ada dasar hukumnya, cara pandang restorative justice terhadap pelaku penistaan agama sungguh tidak tepat dan mengingkari kedaulatan hukum. Setidaknya ada empat alasan yang bisa dikemukakan.

Pertama, tidak ada cara pandang bahwa pelaku penistaan agama adalah korban dari sebuah rangkaian kejahatan lain. Siapa pun yang melakukan penistaan agama, sudah dewasa, tidak gila dan bertanggung jawab di hadapan hukum, maka dia harus diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Mereka yang menista agama sejatinya berangkat dari rasa benci tanpa alasan terhadap sekelompok penganut agama. Melawan kasus penistaan agama sejatinya untuk melindungi agama dan menjaga keharmonisan kehidupan antar umat beragama.

Ada pun jika hakim nanti akan memaafkan atau tidak, maka itu adalah kedaulatan hakim yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Dalam KUHP pun, tidak dikenal keadilan rehabilitatif dalam kasus penistaan agama. Apanya yang mau direhabilitasi, toh pelaku kejahatan penistaan agama sesungguhnya adalah mereka yang memenuhi semua unsur ditegakkannya hukum.

Dalam Pasal 156 KUHP disebutkan, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”

Dalam pasal itu sudah jelas bahwa pendekatan hukuman atas pelaku penistaan agama adalah kurungan penjara dan denda yang harus dipenuhi oleh terdakwa.

Kedua, dampak kejahatan penistaan agama adalah rusaknya tatanan sosial karena bisa menimbulkan konflik horisontal. Apalagi Indonesia saat ini tengah mempersiapkan perhelatan demokrasi yang diwarnai dengan berbagai dinamika politik dan sosial yang panas. Jika disulut dengan sentimen anti agama, maka itu ibarat bensin yang tersambar api, sangat cepat membakar dan memusnahkan apa pun yang ada di dekatnya.

Sejak reformasi bergulir, tidak sedikit konflik antar anak bangsa yang diawali dengan sentimen SARA. Ibarat kata, untuk memulai konflik massal cukup satu liter bensin dan korek api yang mengakibatkan hilangnya ribuan nyawa. Namun, untuk memadamkannya, butuh waktu bertahun-tahun, itu pun tidak akan sepenuhnya hilang karena luka terlanjur menganga.

Ketiga, penegakkan hukuman terhadap pelaku penistaan agama ditujukan untuk memberikan rasa ngeri bagi orang lain untuk tidak berani melakukan tindak pidana yang sama. Cara pandang seperti ini berangkat dari teori hukum yang menyebutkan lebih penting menegakkan hukuman untuk mencegah (to prevent) daripada sebagai alasan penebusan dosa (to cleanse the sin).

Mencegah orang berbuat kesalahan menjadi alasan yang tepat bahwa hukuman penjara sangat tepat dijatuhkan kepada mereka yang berani menista agama. Justru, jika keadilan rehabilitatif diterapkan kepada pelaku penistaan agama, maka itu tidak akan menimbulkan efek jera. Hukum akan dijadikan mainan dan akan semakin banyak orang yang berani menghina dan menista agama dengan alasan kebencian.

Keempat, pemberatan hukuman menjadi cerminan wibawa hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima di negeri kita. Warga negara dipaksa untuk tunduk dan memenuhi aturan yang tujuannya adalah melindungi komunitas besar di atas keharmonisan kehidupan agama. Kita mafhum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak akan kokoh jika tidak adanya toleransi, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Lebih dari itu, disintegrasi bangsa akan menjadi kenyataan, manakala hukum menjadi mainan dan bancakan para petinggi negara.

Pemberatan hukuman terhadap pelaku penistaan agama mencerminkan fungsi hukum sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan membahayakan. Tentunya, penegakkan hukum yang disertai dengan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Akhir kata, mari kita merenung bahwa Indonesia adalah rumah besar bagi setiap komunitas yang berbeda. Untuk melindungi rumah tersebut, dibutuhkan instrumen yang  menjadikan negara ini berwibawa dengan tegaknya hukum tanpa memandang siapa pelaku kejahatan. Indonesia akan semakin disegani dan dihormati manakala warga nya memiliki cara pandang bahwa hukum adalah panglima tak terkalahkan di negara ini. Seperti yang diucapkan filosof Romawi  Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, “Fiat justitia ruat caelum”  (Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh). (*)

ditulis oleh:

Dr. Taufan Maulamin, SE, Akn, MM., Sekjen Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI)

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER