SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Tanggapan atas Tulisan Ngawur Denny JA

Tanggapan atas Tulisan Ngawur Denny JA

Tema NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi di  gulirkan oleh Denny JA seorang peneliti terkenal di tanah air. Tema ini muncul karena adanya himbauan NKRI Bersyariah oleh Habib Rizieq Shihab. Konteksnya yaitu jika NKRI Bersyariah, atau menjungjung tinggi nilai-nilai Agama Islam (khusus bagi muslim) maka paham-paham sesat akan hilang dan tidak ada lagi kriminalisasi Ulama, serta segala aspek kehidupan sesuai dengan standar syariah Islam, sekali lagi khusus bagi muslim saja, bahkan bisa saja berefek positif  juga bagi nonMuslim karena yang dimaksud bersyariah itu bukanlah persoalan Aqidah, tapi lebih kepada urusan hubungan antar sesama manusia saja sehingga takkan menggangu dan merugikan nonMuslim.

Hanya saja, dari sudut pandang penilaian manakah yang lebih baik, antara NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang manusiawi?. Tergantung sekali dari aspek/segi apa seorang itu menilai. Jujur saja, saya sendiri tidak akan mampu untuk menilai dari setiap sudut pandang ilmu yang ada saat ini, dikarenakan kemampuan yang pasti terbatas, begitu juga dengan manusia lain di negeri ini, tanpa terkecuali seorang Denny JA.

Pembukaan UUD NRI 1945 didalamnya mengandung Pancasila sebagai Norma Dasar yang masing-masing sila itu mengandung filosofi hidup bangsa, yang berasal dari jiwa bangsa dan karakter bangsa lalu diturunkan menjadi landasan konstitusional NKRI dan peraturan perundang-undangan lainnya, membuka kemungkinan bagi masyarakat untuk mengadopsi nilai-nilai Syariah Islam kedalam sistem hukum nasional, karena nilai-nilai Syariah yang berkembang didalam masyarakat itu berasal dari Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa.

Aspek filosofis dari nilai ketuhanan yang maha esa membuka ruang bagi nilai-nilai Syariah untuk hidup dan berkembang di tengah maysarakat Indonesia yang mayoritas Muslim dari segi jumlah. Bahkan jika nilai-nilai syariah tak dapat berkembang dan diturunkan kedalam sistem hukum nasional, malah ini menjadi pertanyaan besar. Ada apa? kenapa tidak bisa?

Sungguh tepat sekali apa yang dikatakan oleh Prof. Romli Atmasasmita bahwa karakter hukum bukan hanya sebagai suatu Sistem Norma (Prof, Mochtar Kusumaatmaja) dan Sistem Perilaku (Prof. Satjipto Rahardjo) tetapi hukum juga berkarakter sebagai suatu Sistem Nilai dari Pancasila yang merupakan jiwa bangsa yang menghormati berbagai nilai yang bersifat heterogen yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga karakter hukum itu cocok bagi bangsa Indonesia dalam memasuki era globalisasi.

Bagi seorang muslim tentu saja nilai-nilai syariah adalah nilai-nilai kebenaran yang paling tinggi, karena nilai-nilai tersebut berasal dari Allah SWT, Tuhan pencipta Alam. Bagi Muslim tentu percaya hal ini, jika tidak percaya bagaimana bisa disebut Muslim?

Relatif kebahagiaan tertinggi bagi seorang Muslim adalah ketika nilai-nilai Syariah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sendirinya jika nilai-nilai Syariah telah diterapkan maka ruang publik dengan sendirinya akan manusiawi. Karena nilai-nilai Syariah itu adalah nilai-nilai manusiawi yang berasal dari ALLAH SWT, yang tentu saja lebih paham tentang manusia dan memang diperuntukkan kepada manusia hasil ciptaanNYA.

Apakah kebahagiaan bisa diukur secara universal? Siapa yang bisa menetapkan standar kebahagiaan bagi manusia? Apakah manusia sendiri bisa menetapkan standar bahagianya? Kapan manusia bisa bahagia?

Menurut standar Tuhan Pencipta Alam, ALLAH SWT, manusia hanya berbahagia jika sudah berada dalam Surga.

“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS.Hud:108)

Kebahagiaan sorang Muslim, dengan “yang lain” tentu saja berbeda. Kebahagiaan seorang yang menerapkan Syariah dalam hidupnya dibanding dengan kebahagiaan seorang yang menerapkan nilai-nilai barat/eropa/liberal, maupun nilai-nilai komunis, tentu saja berbeda. Apalagi kebahagiaan seorang yang bertuhan dan yang tidak bertuhan, tentu berbeda sama sekali.

Menciptakan ruang publik yang manusiawi, bagaimana caranya? apa penyebab sehingga ruang publik bisa menjadi manusiawi? apakah nilai-nilai barat/eropa yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki Pancasila bisa membuat ruang publik yang manusiawi? ruang publik yang manusiawi, menurut siapa?

Menurut saya, penerapan nilai-nilai syariah itu adalah “Hulu Sungai”, dan ruang publik yang manusiawi itu hanyalah salah satu hilir anak sungai yang mengalir dari “Hulu Sungai” yang letaknya di wilayah paling tinggi menuju wilayah yang lebih rendah yang bercabang-cabang.

Kesimpulannya, yang paling penting itu bukan hanya Substansi dalam praktek nilai-nilai syariah apalagi hanya sekedar label islam saja, tapi penyerapan nilai-nilai syariah itu kedalam hukum positif jauh sangat penting, karena itu adalah bentuk dari pengakuan negara. Hal ini penting bagi negara yang menganut positivisme hukum.

Bagaimana menurut Anda?

Salam dari #KopiRoni Pekanbaru

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER