BATAM – Mencari pembenaran diri, seperti yang dijabarkan sebelumnya, adalah sebagai bentuk atau cara seseorang dalam melindungi dirinya dari rasa bersalah, depresi dan tersudut dengan cara memutar balikkan fakta, atau biasa disebut sebagai mekanisme pertahanan diri.
Banyak kebohongan-kebohongan, pemaksaan pendapat dengan cara-cara logis untuk meyakinkan bahwa dirinya benar, pelampiasan-pelampiasan amarah yang tertunda serta pengelakan-pengelakan maupun berbagai reaksi-reaksi lain yang berkaitan dengan bagaimana cara orang tersebut menghindar dari rasa salah atau norma-norma yang ada.
“Seperti kita tahu, sebagaimana dijelaskan oleh Sigmund Freud dan diperinci oleh Anna Freud bahwa defence mechanism itu meliputi segala sesuatu yang dilakukan orang untuk melindungi egonya.. Dari apa? Dari kecemasan, ketakutan, emosi negatif, ataupun segala sesuatu yang dianggap mengancam dirinya,” tutur pakar psikologi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dewi Ilma Antawati, M.Psi.
(Foto: Dewi Ilma Antawati,M.Psi.)
Menurutnya, hal tersebut adalah alamiah, normal, dan bisa terjadi oleh siapa saja. Akan tetapi menjadi hal yang tidak normal ketika seseorang berusaha mengelak atau mencari pembenaran diri kepada sesuatu yang melanggar norma dan etika yang ada.
“Seperti dalam contoh rang selingkuh atau menjadi ‘simpanan’ pria yang sudah beristri. Pikiran sadarnya pastilah tahu bahwa hal itu salah, bahwa dia menyakiti istri sah si pria, bahwa dia mendapat penilaian buruk dari orang lain, dan sebagainya. Nah, untuk melindungi diri dari pikiran dan perasaan negatif tersebut, secara sadar ataupun tidak, inner mind nya akan melindungi dirinya dengan mengatakan bahwa apa yang dia lakukan boleh saja karena berbagai alasan, seperti misalnya, ‘si istri tidak mampu melayani suami sehingga selingkuh’, ‘dia tidak salah karena yang mengajak si pria itu, bukan dia yang minta’, ‘nanti dia akan dinikahi dan pria boleh berpoligami’, dan seterusnya,” papar wakil dekan I Fakultas Psikologi ini.
Ibu dari enam anak ini menjelaskan bahwa sebenarnya defense mechanism atau mekanisme pertahanan diri itu sifatnya adaptif dan membantu seseorang untuk mengatasi pikiran buruknya dan melanjutkan hidupnya. Namun dalam kasus perselingkuhan yang marak terjadi dan terekspose di berbagai media sosial misalnya, pastilah itu akan sangat mengganggu relasi orang yang bersangkutan dengan orang lain. Sedangkan menurutnya, menyerang orang yang melakukan defense hanya akan memperkuat defense mechanismnya.
“Gambarannya seperti orangtua yang overprotective terhadap anak, ketika anak itu terancam maka ia akan melakukan segala cara untuk melindungi anaknya. Begitulah cara kerja defense mechanism. Sedangkan dalam kasus wanita ‘simpanan’, menyuruh dia untuk mengasihani anak istri si pria, mengatakan bagaimana pandangan orang terhadapnya, mengatakan betapa buruknya si pria, dan sebagainya, hanya akan membuat si wanita simpanan berpikir bahwa si individu yang mengatakan itu punya maksud buruk terhadapnya, bahwa tidak ada orang yang peduli padanya selain si pria selingkuhannya, bahwa masyarakat hanya bisa melihat sisi negatif orang tersebut, dan sebagainya,” jelas Ilma.
Lebih lanjut, dosen yang juga mengajar mata kuliah psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan anak dan remaja ini menuturkan bahwa untuk menghentikan seseorang yang selalu mencari pembenaran diri namun menyimpang dari berbagai aturan dan norma yang ada adalah dengan cara kita harus memiliki kesadaran terlebih dahulu bahwa ketika individu yang melakukan defense atau mencari pembenaran diri ini adalah mereka yang nyaman dengan keadaan mereka, itu artinya ketika kita berusaha membantu menghentikan apa yang ia selalu lakukan hal tersebut sama saja dengan kita mengambil kenyamanan yang telah melekat dalam diri mereka dan membawa ketidaknyamanan dalam diri mereka.
“Nah, ketidaknyamanan tersebut meliputi, pikiran negatif, perasaan buruk, dan sebagainya yang dapat membuat ia terpuruk. Maka perlu digunakan pendekatan konseling untuk menggali kebutuhan dasar apa yang sebetulnya dimiliki si individu dan pikiran negatif apa yang ia miliki,” jelasnya.
Maka dari itu, dosen yang terkenal paling lembut dan sabar ini memberikan tips kepada pembaca untuk menangani masalah ini dengan cara:
“Pertama, jangan berusaha menjudge individu tersebut, bahwa ia salah, ia melakukan kejahatan, ia merugikan orang lain, dan sebagainya, karena pada dasarnya ia sudah tahu. Menyalahkannya hanya akan memperkuat defensenya. Kedua, temukan kebutuhan apa yang mendasari perilakunya. Tanyakan apa yang membuatnya berbuat begitu. Misalnya dalam kasus perselingkuhan, tanyakan tanpa melakukan penilaian, apa yang membuatnya merasa harus bertahan dengan si pria beristri. Temukan kebutuhan dasar yang ia miliki. Ketiga. Jika ada pikiran2 yang melumpuhkan, ajak ia untuk mempertanyakan apakah pikiran negatif tersebut benar adanya? Apakah terbukti? misalnya ‘saya nggak bisa hidup tanpa dia’ ‘saya lemah dan butuh pria itu untuk menghidupi saya’, ‘cuma dia yang peduli pada saya’, ‘saya sudah terlanjur, tidak bisa kembali’,” jabarnya.
Terakhir ia mengimbuhkan bahwa biasanya para konselor brief counselling menggunakan teknik exception atau bisa juga digunakan teknik strength bombardment dari pendekatan fenomenologis untuk menyadarkan individu bahwa pikiran buruknya itu tidak terbukti dan ia sebetulnya memiliki kekuatan. (HA)