Hari Ahad, tanggal 9 Desember terhitung satu tahun dari wafatnya ibunda tercinta. Rasa rindu seorang anak kepada ibundanya, adalah sesuatu yang wajar, terlebih setelah ditinggal wafat oleh beliau.
Betapa cepat rasanya waktu peringatan haul untuk pertama kalinya di tahun 2018 ini telah tiba, subhanallah di samping terbayang-bayang wajah teduh ibunda, juga terngiang kembali satu pesan yang sangat mendalam, khususnya jika dikaitkan kondisi saat ini, atau bertepatan dengan ‘tahun politik’.
Ibunda dulu cukup tahu dan sangat memahami jikalau saya pribadi senang sekali berbicara masalah politik. Biasanya jikalau saya sedang diskusi membahas politik nasional dengan ayahanda tercinta, KH. Bashori Alwi, maka ibunda seringkali ikut menyimak, walaupun tanpa ikut berkomentar sedikitpun tentang tema yang sedang kami bahas.
Saya jadi teringat, di awwal adanya kebijakan multi partai, yaitu pasca era berlakunya 3 partai (Golkar, PPP & PDI). Suatu saat saya diperintah oleh ayahanda untuk pergi ke Pesantren Tebuireng Jombang, guna bertemu KH. Yusuf Hasyim.
Rupanya KH. Yusuf Hasyim atau yang lebih familiar dipanggil Pak Ud, habis menelpun ayahanda dan meminta ijin agar saya ikut membantu aktifitas dakwah beliau. Hingga akhirnya saya bermalam selama 3 hari di rumah kesepuhan Tebuireng. Bahkan saya diminta untuk tidur di salah satu bilik, kemudian KH. Yusuf Hasyim mengatakan, jikalau dulu bilik itu adalah tempat tidurnya Mbah Hasyim Asy’ari.
Ringkas cerita, dalam percakapan tersebut, ternyata Pak Ud meminta saya agar membantu beliau dalam dua hal:
1. Mencari data-data tentang kebangkitan PKI
2. Ikut mendirikan partai politik berasas Islam (Partai Kebangkitan Umat/PKU).
Setelah pulang di rumah, saya melaporkan kepada ayahanda tentang harapan Pak Ud tersebut, dan ayahanda juga menyatakan setuju serta ikut mendukung jika saya bersedia membantu perjuangan Pak Ud itu.
Namun di saat selesai pembahasan dengan ayahanda, dan saya duduk hanya berdua dengan ibunda, yang sedari tadi ikut menyimak pembicaraan kami, tiba-tiba ibunda bilang kepada saya dengan suara datar:
“Luthfi, ibu ikut senang engkau ikut berjuang membantu Kyai Yusuf Hasyim, tapi ibu pesan jangan bercita-cita jadi pejabat, seperti jadi anggota DPR/MPR/BUPATI, karena ‘ibu tidak senang punya anak yang menjadi pejabat negara’. Kalau mau bekerja sama dengan aparat atau pejabat negara, itu tidak apa-apa, asalkan tidak menjadi pejabatnya.”
Sejak saat itu, saya berjanji kepada ibunda, bahwa saya tidak akan menjadi pejabat negara di segala sisi, termasuk menjadi wakil rakyat di parlemen semacam anggota DPR/MPR. Saya pun menceritakan keputusan saya ini kepada Pak Ud, namun saya tetap berjanji akan ikut mencarikan dukungan suara untuk PKU partai yang beliau dirikan, dan beliau memahami keputusan saya itu.
Alhamdulillah, saat dilaksanakan pemilu legeslatif di kala itu, saya banyak ikut menyertai tim kampanye keliling ke banyak wilayah, hingga akhirnya PKU mendapat jatah dua kursi di parlemen Pusat yang berasal dari Jawa Timur. Kemudian saya pamitan mohon ijin kepada Pak Ud untuk undur diri dari hiruk pikuk pemilu legeslatif serta kepartaian PKU.
Pernyataan ibunda yang datar namun keluar dari dalam hati beliau tersebut, ternyata benar-benar terasa sangat melekat di hati saya. Saya juga tidak pernah bertanya kepada ibunda, “Mengapa beliau tidak senang punya anak jadi pejabat ?”.
Karena pengaruh pesan ibunda yang mendalam ini, entah sudah berapa banyak orang-orang partai yang datang silih berganti untuk melamar saya, agar bersedia menjadi salah satu pengurus resmi atau aktifis atau wakil partai yang mereka bidangi secara resmi. Namun, setiap kali datang tawaran itu kepada saya, sekalipun dengan janji-janji yang sangat menggiurkan jika terpilih, maka setiap kali juga muncul dan terngiang ucapan ibunda tersebut di benak saya.
Di saat datang pikiran yang berkecamuk seperti itu, sering juga muncul pertanyaan dalam hati, apakah saya tetap memilih cari ridha dari ibunda tercinta, atau akan memilih glamournya fasilitas yang dijanjikan oleh dunia partai politik, tentunya jika saya bersedia bergabung dan dipilih oleh masyarakat?
Alhamdulillah, sampai detik ini, walaupun saya masih sering berbicara di mimbar-mimbar ilmiah bertema seputar politik keislaman, bahkan tak jarang saya ikut andil dalam merealisasikan program-program politik Islam di tanah air, karena hal itu saya anggap sebagai salah satu bentuk perjuangan dakwah di bidang politik, namun saya tetap berusaha istiqamah memilih beraktifitas di jalur dakwah, tanpa harus terlibat secara resmi menjadi bagian dari partai politik itu sendiri, apalagi jika harus mendaftarkan diri menjadi salah satu anggota legeslatif, eksekutif maupun yudikatif.
Ini semua saya lakukan demi ingin mendapat keridhaan ibunda tercinta, tentunya sekaligus untuk menghormati dawuh dan pesan mendalam beliau yang pernah disampaikan secara langsung kepada saya pribadi.
Ya Allah, ampunilah kedua orang tua saya, dan sayangilah mereka berdua, sebagaimana mereka dulu menyayangi saya di masa kecil.