SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

BPJS Kes, Defisit Dan Kebijakan Kurang Populer

BPJS Kes, Defisit Dan Kebijakan Kurang Populer

Menarik sekali surat direktur sebuah rumah sakit swasta kepada presiden Jokowi.  Direktur Rumah Sakit Karya Husada Karawang, dr. Pundi ferianto, MARS menuliskan keluhannya terhadap tunggakan BPJS Kesehatan pada rumah sakit yang dia pimpin.  Dia mengeluh karena harus menunda pembayaran honor dokter dan juga operasional rumah sakit yang terancam.

“Bapak presiden, kami tidak anti BPJS Kesehatan, tolong perkuat pendanaan BPJS Kesehatan agar kami bisa hidup.  Kami Rumah Sakit Swasta yang tidak pernah mendapatkan subsidi sedikit pun dari pemerintah.  Kami hanya meminta kepastian pembayaran dari BPJS Kesehatan. Saya harap Pak Jokowi juga berani mengeluarkan kebijakan yang tidak populer ditahun politik ini demi menyelamatkan BPJS Kesehatan, Rumah sakit, Dokter dan Masyarakat yang langsung merasakan manfaat BPJS Kesehatan ini”, tulisnya.

Setelah berjalan sejak tahun 2014, ternyata BPJS Kesehatan masih belum dapat keluar dari masalah keuangan.  Setiap tahun laporan manajemen, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit.  Padahal jika dilihat laporan pesertanya, dari tahun ketahun peserta BPJS semakin banyak.  Undang undang JKN mewajibkan pada tahun 2019 semua rakyat Indonesia sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatannya.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief, memperkirakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan mengalami defisit pada 2018 mencapai Rp 16,5 triliun. Atas dasar itu BPJS Kesehatan tengah berupaya mengefisiensi pengeluaran untuk mengurangi angka defisit tersebut.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyatakan bahwa angka defisit ini dinilai sebagai dampak dari adanya penerimaan iuran yang kurang optimal dan pembiayaan yang belum terkendali. Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf yang menyebut bahwa masalah defisit yang tengah dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena hitungan aktuaria atau harga keekonomian iuran JKN-KIS.

Menurut  Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, angka hitungan aktuaria peserta jaminan kesehatan nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) kelas III per orang setiap bulannya yaitu sekitar Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu.  Padahal yang dibayarkan baru di angka Rp 23 ribu hingga Rp 25 ribu per bulan.  Artinya, ada defisit Rp 12 ribu per penerima bantuan iuran (PBI).  Jika berbicara premi PBI untuk mengejar hitungan aktuaria maka harusnya pemerintah siapkan dana Rp 35 triliun.

Untuk mengurangi defisit keuangan BPJS Kesehatan, Mentri Keuangan, Sri Mulyani mendorong BPJS Kesehatan berkolaborasi dengan pihak lain agar iuran dari pihak non Penerima Bantuan Iuaran (PBI) bisa meningkat ketimbang hanya mengandalkan iuran PBI semata.

Para peserta non PBI saat ini diantaranya mengambil klas I dengan iuran Rp 80. 000 perbulan.  Angka Rp 80.000 bagi peserta BPJS klas I merupakan angka yang sangat kecil.  Mereka kebanyakan merupakan kelas menengah ke atas yang selama ini mampu membayarkan premi asuransi kesehatan swasta seharga Rp 300.000 sampai Rp 1.000.000 setiap bulan.  Kelompok ini lah seharus yang di tarik BPJS untuk untuk membayarkan premi sebesar harga premi yang selama ini mereka bayar di asuransi lain.  Tentu saja BPJS Kesehatan harus memberikan kompensasi dengan bentuk layanan yang setara dengan apa yang mereka dapatkan selama ini.  Uang dari mereka inilah yang bakal dapat digunakan BPJS Kesehatan untuk memberikan subsidi silang sebagaimana semboyan semangat gotong royongnya BPJS kesehatan.

Jika BPJS Kesehatan dapat memberikan jaminan pembiayaan yang profesional, para peserta JKN Kesehatan yang berduit akan berbondong – bondong untuk mengikuti program BPJS Kesehatan.  Artinya mereka bukan sekedar hanya mengikuti kewajiban ikut sebagai peserta sebagaimana diamanahkan undang-undang.  Selama ini terkesan BPJS hanya lebih diminati dan digunakan oleh mereka yang mendapat bantuan dana premi dari pemerintah karena merasa banyak terbantu.  Sedangkan mereka yang berduit lebih memilih asuransi lain yang dapat memberikan jaminan pelayanan yang lebih baik.

Premi yang besar bagi peserta yang berduit, akan dapat memperbaiki plafon pelayanan BPJS Kesehatan sehingga Rumah sakit sebagai pemberi jasa layanan juga dapat memberikan yang terbaik bagi pasien yang membutuhkan.  Untuk efisiensi, BPJS juga tidak perlu membuat aturan yang membatasi jenis layanan.

Mungkin saja ini bukan keputusan populer ditengah gonjang ganjing politik ditahun pemilu, tapi pilihan ini akan lebih memperbaiki citra BPJS yang mulai kurang bagus dikalangan petugas rumah sakit dan pengguna BPJS.  Semoga BPJS Kesehatan kedepan dapat lebih baik dalam menunaikan amanah sebagai pengelola kebutuhan hajat masyarakat banyak.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER