WARGASERUJI – Menteri Baru bakal bergembira. Mobil baru untuk kendaraan dinas para menteri kabinet Jokowi Jilid II bakal dirilis. Kabarnya, nilainya mencapai Rp 152 Miliar. Angka yang cukup fantastis dan wah bagi rakyat berkantong tipis. Bagi pejabat berkantong tebal mungkin sudah biasa.
Kandidat kuat mobil menteri baru adalah Toyota Crown Hybrid besutan Jepang. Nilainya pun bermacam-macam. Tergantung keputusan pemerintah mau ambil Hybrid yang mana.
Melihat spesifikasi, sedan mewah ini masuk dalam persyaratan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.577/KM.6/2017, berwujud sedan bermesin 3.500 cc, enam silinder atau SUV 3.500 cc, enam silinder. Di Jepang, 3.5L Hybrid S dibanderol 6.237.000 yen atau setara Rp 835 juta. Crown 3.5L Hybrid RS Advance seharga 6.906.600 yen atau setara Rp 924 juta, dan Crown 3.5L Hybrid G Executive 7.187.400 yen atau setara Rp 962 juta. (Kompas.com, 22/8/2019).
Mobil dinas memang salah satu fasilitas yang diberikan negara kepada menteri. Dari masa Soekarno hingga SBY sudah ada. Bedanya hanya pada harga, jenis dan tipenya saja. Artinya, para pejabat negara diberi kemudahan transportasi dalam melaksanakan tugasnya.
Sayangnya, nilai pengadaan mobil dinas baru yang semewah itu pantaskah diberikan disaat rakyat harus berjibaku dengan ekonomi yang kian sulit? Utang negara terus naik berikut bunganya. BPJS mengalami defisit. Belum lagi rencana bulat pemindahan ibu kota yang menelan dana fantastis. Dimana kepekaan itu?
Mobil dinas sejatinya adalah alat trasnportasi, perlukah membeli mobil dengan harga ‘langit’? Kan yang penting fungsinya berjalan. Spesifikasinya sesuai standar kelayakan. Tak perlu bermewah-mewah. Hidup sederhana. Agar bisa merasakan apa yang diderita rakyat bawah.
Jika mau, teladanilah para pendahulu kita. Para pahlawan negara yang memilih hidup sederhana meski bergelimang harta. Seperti halnya M. Natsir. Meski menduduki jabatan menteri, beliau hidup sebagai kontraktor. Berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain. Beliau juga menolak pemberian mobil Chevrolet Impala dan memilih tetap menggunakan mobil De Soto tua miliknya. Salah satu proklamator kita, Mohammad Hatta juga hidup sederhana. Jauh dari kemewahan.
Sementara, pejabat hari ini justru dimanjakan dengan berbagai fasilitas dan tunjangan. Jauh dari nilai sederhana. Bahkan dinaikkan gajinya. Rakyat justru ditarik pajaknya kemana-mana. Imbangkah? Pajak yang diambil dari rakyat, tapi pejabat yang menuai enaknya. Katanya orang bijak taat pajak. Dan pejabat bijak seharusnya tahu diri. Buatlah kebijakan yang pro rakyat. Jangan khianat.
Mobil bernilai ‘wah,’ apa pentingnya? Lebih baik pengiritan. Agar negeri ini mampu bayar utang. Pangkas biaya yang tak perlu. Semisal harga mobil menteri baru. Minimalisasi pengeluaran berlebih. Utamakan kemaslahatan yang lebih besar. Semisal peningkatan layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Tak etis rasanya bila mobil baru diberi saat ekonomi Indonesia tengah diuji. Mari tunjukkan empati sehingga tak ada kesan rakyat hidup sendiri tanpa ada yang melayani.