WARGASERUJI – Bagi setiap muslim, memakan makanan halal lagi thoyyi adalah hal terpenting. Sebab, Islam mewajibkan pemeluknya mengkonsumsi makanan halal. Menjadi negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, produk halal harusnya mutlak diperhatikan pemerintah. Sayangnya, kebijakan terbaru Kementerian Perdagangan memunculkan kontroversi.
Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
Hal tersebut lantaran aturan itu meniadakan kewajiban label halal dalam produk ekspor dan impor hewan dan produk hewan yang dipasarkan di Indonesia. Menurutnya, Kemendag kurang memperhatikan aspek agama, hukum, dan ekonomi. (Republika, 15/9/2019).
Di saat negara non muslim berlomba mempromosikan wisata dan makanan halal, Indonesia justru menerapkan aturan sebaliknya. Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan adalah sejumlah negara yang gencar melakukan promosi wisata halal. Tujuannya, agar wisatawan muslim di dunia makin tertarik berlibur ke negara mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Kebijakan Kemendag ini bukankah bertolakbelakang dengan citra Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia? Negara non muslim saja begitu perhatian dengan keamanan makanan halal bagi warga negaranya yang muslim. Terlebih Indonesia, harusnya makanan halal menjadi perhatian utama.
Tak heran bila kebijakan tak wajib mencantumkan label halal menuai kritik dari masyarakat. Sangat wajar bila masyarakat khawatir terhadap kebijakan ini. Bukannya memperketat regulasi terhadap produk daging impor, malah diberi kelonggaran yang menguntungkan negara pengimpor. Alami pula jika masyarakat menuntut jaminan kepastian halal atas produk makanan yang akan mereka konsumsi.
Negara harusnya hadir memberi keamanan dan kenyamanan. Membuat kebijakan berdasarkan pada kemaslahatan umat. Setiap muslim pasti menginginkan makanan yang jelas kehalalannya.
Jika kebijakan Kemendag ini benar-benar diterapakan, itu berarti pemerintah abai dalam memperhatikan makanan yang dikonsumsi rakyat yang notabene mayoritas muslim.
Gempuran produk impor saja sudah membebani, janganlah ditambah dengan aturan yang tak berpihak pada kaum muslim. Mayoritas berasa minoritas. Tersisih di negeri sendiri.
Makanan impor saja belum tentu terjamin kehalalannya. Bagaimana jadinya bila negara pengimpor tak mencantumkan label atau sertifikasi halal?
Baiknya pemerintah lakukan evaluasi terhadap kementerian yang membuat regulasi. Putuskanlah kebijakan berdasarkan kepentingan umat. Memihak rakyat dan menenteramkan hati mereka.
Negeri ini butuh ketegasan dari pemimpinnya. Ketegasan yang membawa kemaslahatan bukan kemudaratan. Wallahu a’lam.