Saat TGB ini menjadi buah bibir para nitizen baik pendukung maupun bukan pendukung Jokowi. TGBpun sudah menjelaskan dalam sebuah video yang dibagikan banyak oleh nitizen di media sosial. TGB menyatakan bahwa kita adalah bersaudara, sebangsa dan kita bukan tengah berperang. Namun sebaliknya juga banyak yang menghujat dan menganggap TGB sebagai orang yang tidak punya pendirian dan mudah diimingi dengan kesenangan sementara dan mengabaikan perasaan ummat.
Sebelumnya TGB dipuja dan dipuji oleh nitizen karena dia seorang ulama yang tamat dari Universitas Al AzharKairo Mesir, Hafiz Al Qur’an dan fasih dalam mengutip ayat dan hadist dalam setiap ceramahnya. Kinerjanya sebagai gubernur NTB yang dua periode menambah nilai kebaikan TGB di mata ummat. Ummatpun menaruh harapan yang besar pada TGB untuk menjadi pemimpin dimasa depan.
Bagaimanapun TGB seorang manusia. Dibalik seribu kebaikan yang ada padanya, ada sedikit keburukan yang dia punya. Mungkin selama ini kekurangan TGB tertutupi dengan beribu kebaikan yang tampak dimata ummat. Ummatpun berharap akan banyak ulama-ulama seperti TGB yang dapat menjadi pemimpin bukan hanya dalam sosial keagamaan tapi juga pemimpin politik atau pemimpin negara. Harapan ummat ini sangat terlalu besar karena selama ini sudah jenuh dengan penampilan para politikus yang banyak mempermainkan ulama dan ayat-ayat Allah.
Namun ditengah euforia kekaguman terhadap TGB, muncul sebuah peristiwa yang sangat diluar dugaan. Disaat cinta dan kekaguman yang tengah membara ini TGB mengucapkan sebuah kalimat yang sangat menyinggung perasaan ummat. TGB menyatakan bahwa Suatu transformasi tidak cukup hanya lima tahun, ketika periodisasi maksimal 10 tahun. Saya rasa sangat fair kita beri kesempatan Beliau untuk kembali melanjutkan,” ucap TGB saat berkunjung ke Redaksi Liputan6 di SCTV Tower, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 Juli 2018.
TGB mengatakan, dukungan kepada Jokowi murni sebagai keputusan pribadi dan tanggung jawab sebagai anak bangsa. “Itu pernyataan pribadi dan tidak ada sangkut paut dengan yang lain,” tegas TGB.
Lalu apakah TGB salah dengan ucapannya? TGB tidak salah dengan ucapannya itu. Tapi TGB kurang bijak dalam mengambil sikap. TGB telah meluluh lantakkan harapan yang besar terhadapnya. Bagaikan luluh lantaknya harapan seorang murid pada guru, harapan seorang anak pada ayah dan harapan seorang rakyat pada pemimpinnya. Sebaiknya TGB tidak mengucapkan hal itu dalam situasi saat ini. Mungkin akan lebih baik TGB diam dan mengeluarkan senyum ketika dipancing untuk hal dukung mendukung.
Akibat pernyataan TGB ini muncul berbagai sumpah serapah sebagai bentuk kekesalan. Terjadi hujat dan pembulian, bahkan berbagai jejak kurang baik TGB muncul di media sosial. Kebaikan dan keunggulan TGB yang selama ini didengungkan sirna seakan tanpa bekas. Tidak lagi sebagai hafiz dan sebagai ulamanya yang disebut, tapi dia pernah poligami dan keterkaitannya dengan dugaan ada korupsi yang tengah diusut KPK. Sebaliknya dipihak lain terjadi euforia kemenangan. Prestasi TGB sebagai Gubernur NTB dua periode disebut punya peran untuk kemenangan Jokowi pada 2019.
Siapakah yang salah? Tidak ada yang salah. TGB tidak salah, tapi kurang bijak dalam bersikap. Rakyat yang sebelumnya memujanya dan kini menghujatnya juga tidak salah, tapi kurang cermat dalam menilai.