WARGASERUJI – Istilah radikal makin santer digaungkan. Kata radikal sering dipakai bagi mereka yang terpapar Islam garis keras. Seperti pernyataan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, yang mengatakan ASN di Jateng banyak terpapar radikalisme. Epidemi radikalisme?
Beberapa waktu lalu Menristekdikti juga mengatakan hal serupa. Sebagian kampus ternama di Indonesia terpapar radikalisme.
Ada pula rilisan Kemenag tentang masjid radikal. Terbaru, salah satu Komisioner KPAI, Aswar Hasan dinilai seorang radikal. Tuduhan ini lantaran Aswar Hasan diketahui pernah menjabat sebagai Sekretaris Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) di Makassar, Sulawesi Selatan.
Hal ini dibantah Jusuf Kalla. “Komite ini mencakup seluruh organisasi di Makassar, baik itu ormas NU ataupun Muhammadiyah. Syariat Islam kan sederhana. Tiap hari kita juga melaksanakan syariat Islam, ya salat, puasa. Jadi, tidak unsur radikalisme dalam syariat itu,” kata JK yang juga merupakan tokoh Makassar.
Ia menambahkan lembaga KPPSI bukanlah lembaga radikal. Aswar juga bukan orang radikal. Jadi, jangan alergi ke pelaksanaan syariat Islam (Cnnindonesia.com, 30/7/2019)
Tak hentinya narasi ini digulirkan. Menyerang siapapun yang taat menjalankan syariat Islam dengan stigma radikal. Padahal makna radikal sendiri banyak dan beragam versi. Lantas, mengapa makna radikal dipersempit dengan mengerucut pada Islam dan pemeluknya?
Artinya, narasi radikalisme lebih bernuansa politis. Tak lagi obyektif. Muslim taat pada syariat Islam dibilang radikal. Bahkan halaqah pun menjadi ciri orang berpaham radikal. Se-parno itukah dengan Islam dan syariatnya? Sebentar-sebentar radikal.
Nampaknya epidemi radikalisme makin parah di negeri mayoritas muslim terbesar ini. Islamofobia sudah menjadi wabah. Kejadian Luar Biasa.
Dalam praktiknya, radikal lebih sering dikaitkan dengan isu terorisme. Berangkat dari asumsi bahwa pemicu terorisme adalah radikalisme. Upaya pencegahan dan pemberantasan terorisme inilah yang dikenal dengan program deradikalisasi.
Kalau di masa dulu kita mengenal istilah Global War On Terorism. Maka anak turunan dari program itu adalah deradikalisasi yang diartikan sebagai upaya menangkal paham radikal yang menjadi pemicu terorisme.
Siapa pencetus program deradikalisasi?
Ya Barat dan sekutunya. Konotasi radikal yang bermakna luas ini dipersempit dengan mengarah kepada Islam saja. Agar sudut pandangnya pas dan mengena.
Dikutip dari hidayatullah.com, Istilah radikal dan radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula.
Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial.
Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan (Wikipedia.org).
Dengan konotasi yang luas, kata radikal bisa bermakna positif ataupun negatif. Sayangnya, informasi yang seringkali kita baca justru radikal lebih digiring ke konotasi negatif. Hal itu tentu saja memengaruhi mainset kita tentang istilah radikal. Artinya, peran media sangat besar dalam memainkan isu-isu ini. Media tak lagi independen.
Maka dari itu, siapa sebenarnya yang berhak menilai seseorang terpapar radikal?
Sejatinya semua itu tergantung isu yang akan dimainkan. Sebagaimana diketahui, istilah radikal, fundamental, moderat dan sebagainya merupakan buah karya ciptaan Barat yang sengaja dihembuskan di negeri-negeri muslim. Tujuannya, agar kaum muslim makin samar mengenal Islam. Makin mudah diadudomba.
Saat kaum muslim sibuk saling menuduh, saling memfitnah antar saudara, maka di saat itulah kaum kafir Barat bergembira. Taktik mereka berhasil. Kekuatan Islam melemah. Tak ada persatuan kaum muslimin. Artinya, hegemoni mereka tetap aman dibawah kendali ideologi mereka.
Mereka menjadikan muslim yang radikal sebagai musuh bersama Barat dan kaum muslim sendiri. Alhasil, perdebatan dan saling mencurigai marak terjadi. Dan tanpa sadar gejala Islamofobia tengah mewabah dalam kehidupan antar umat.
Islam telah menjelaskan bahwa aksi terorisme dan tindak kekerasan tidak dibenarkan. Istilah radikal itu ambigu. Tergantung kepentingan siapa yang sedang dijalankan. Mereka teriak anti radikal, namun bungkam dengan korban radikal Myanmar, Cina, AS, Israel dan lainnya.
Mengapa negara-negara itu tak pernah disebut teroris ataupun kaum radikal? Artinya, radikalisme dijadikan ide jajahan untuk menyerang Islam.
Oleh karenanya, kitalah yang harus menyadari. Kaum kafir Barat menabuh genderang diatas ikatan akidah Islam. Sebab, mereka tahu kunci kekuatan umat ialah iman dan persatuan.
Musuh-musuh Islam tak pernah berhenti bekerja untuk menghambat kebangkitan Islam. Mereka tengah menjalankan politik devide et impera. Sebagaimana kompeni dulu mengacak-acak Indonesia.
Barisan ulama yang menentang penjajah, mereka sebut kaum radikal. Strategi sama, hanya beda masa dan cara.
Mari berpikir sehat. Kedepankan ukhuwah. Biasakan tabayun. Buka diri dengan diskusi. Jangan mau jadi corong penjajah. Menelan narasi mentah-mentah. Dan akhirnya berkubang dengan kemunafikan dan kefasikan. Naudzubillah.
Penulis Oleh Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban