WARGASERUJI – Saya tergelitik untuk mengomentari surat yang ditujukan SBY kepada jajaran petinggi partainya seperti yang dilansir SERUJI.CO.ID hari ini. Melalui SBY meminta kepada pengurus partainya tersebut supaya memberikan saran pada capres 02 agar penyelenggaraan kampanye nasional Prabowo di GBK tetap mencerminkan sikap inklusive dan kebhinekaan atau kemajemukan.
Menurut SBY apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif.
Dari video live streaming yang saya lihat, acara kampanye akbar kali ini diawali dengan sholat subuh berjamaah, kemudian ada nyanyian lagu-lagu kebangsaan, ada tilawah, ada doa-doa, ada orasi politik yang isinyapun masalah Indonesia secara umum (misalnya korupsi, kemiskinan, kedhaliman dll) , ada juga orasi dukungan dari berbagai tokoh agama selain Islam, bendera Indonesia berukuran raksasa juga ikut mejeng. Undangnnya juga umum “putihkan GBK” dan tidak ada kata “khusus untuk muslim”
Saya bertanya-tanya, dimana eksklusifnya? Apa karena ada sholat subuhnya? Apa karena ada orasi Habib Rizieq? Apa karena ada sholawatan? Apa karena ada banyak ulama? Apa karena ada doa-doa?
Saya jadi teringat kampanye nasional Jokowi 5 tahun yang lalu di GBK yang bertajuk konser salam 2 jari, sebuah kampanye nasional dengan konsep konser.
Saya bertanya lagi dalam hati, apakah konsep kampanye konser lebih mencerminkan keindonesiaan daripada konsep kampanye subuh berjamaah? Bukankah nyanyian juga merupakan ciri khas ibadah agama tertentu?
Mari kita potret keseharian masyarakat indonesia. Bukankah sholat subuh merupakan warna Indonesia di setiap subuh? Bukankah disetiap subuh adzan berkumandang di seluruh masjid dan mushola di seluruh indonesia? Lalu kenapa jika ada kampanye dengan konsep subuh berjamaah dianggap ekslusif dan tidak mencerminkan Indonesia.
Saya prihatin jika ajaran islam mewarnai sebuah acara lalu dicurigai eksklusif, bahwa jika muslim menunjukkan identitasnya maka dianggap akan membahayakan persatuan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Apakah ini peartanda islamophobia masih merajai fikiran mayoritas kita, bahkan muslim sendiri sekalipun?
Meskipun saya pecinta musik, tapi saya tidak menganggap kampanye konsep konser lebih mencerminkan keindonesiaan daripada konsep kampanye sholat subuh. bagi saya kedua konsep tersebut berhak eksis di Indonesia dan tak perlu saling mencurigai