WARGASERUJI – Jika dihadapkan pada pilihan “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”, seakan-akan kedua hal tersebut adalah hal yang bertentangan dan hanya boleh atau harus dipilih salah satu. Padahal jawaban yang paling membahagiakan adalah memilih kedua-duanya sekaligus. Sebab NKRI yang bersyariah justru akan menjamin ruang publik yang manusiawi. Bagaimana bisa?
Islam Agama Rahmatan lil’alamin
Kata Syariah tidak bisa lepas dari kata Islam. Islam memang dikenal sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, yang agama yang menaungi seluruh alam. Secara garis besar agama Islam mengatur dua hal, yaitu hubungan vertikal dengan Sang Pencipta dan hubungan horizontal sesama manusia.
Hubungan vertikal antara muslim dengan Pencipta-nya hanya soal sholat, zakat, puasa, dan haji apabila mampu. Selebihnya, Islam mengatur bagaimana hubungan horizontal sesama manusia.
Islam mengatur hubungan sesama manusia agar seimbang antara hak dan kewajiban satu dengan lainnya. Islam mengatur mulai dari hubungan sesama individu hingga hubungan secara sosial. Bahkan Islam mengatur bagaimana mengurus negara sehingga seluruh rakyatnya terjamin dan sejahtera, tidak memandang apakah dia memeluk Islam atau tidak.
Islam adalah sebuah agama yang memiliki instrumen jelas yaitu Al Qur’an yang mana tolak ukurnya adalah Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam telah paripurna dan tidak akan berubah karena perilaku pemeluknya. Mudahnya, apabila ada seseorang mengaku Islam tetapi melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan Islam, maka Islam tidak berubah karena orang tersebut.
Tentang Kebahagiaan
Bagi pemeluk agama Islam, salah satu rukun imannya adalah percaya adanya akhirat yang kekal. Bahwa setiap nyawa yang telah mati tidak kembali hidup lagi dan urusan selanjutnya akan di akhirat. Orang Islam tidak hanya ingin bahagia di dunia saja tetapi juga diperintahkan bahagia di akhirat. Bagaimana supaya bisa bahagia di akhirat? Yaitu dengan menjalankan aturan Islam secara komprehensif beserta konsekuensinya.
Dan, orang Islam memang diperintahkan agar mengajak orang lain turut bahagia, di dunia maupun di akhirat. Lantas, apakah muslim akan memaksa orang lain agar dia memluk Islam? Tidak sama sekali. Islam sendiri bahkan membebaskan sepenuhnya manusia untuk memilih keyakinannya apakah dia mau memeluk Islam atau tidak.
Maka, jika ada kasus-kasus pemaksaan memeluk Islam bahkan dengan kekerasan sampai bom dan teroris, sama sekali itu bukan ajaran Islam.
Tanggapan atas Tulisan Denny JA “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”
Dalam tulisannya dengan judul tersebut Denny JA telah menyampaikan bahwa terdapat Lembaga bernama Yayasan Islamicity Index yang dipimpin oleh kalangan sarjana tingkat Ph.D bidang ekonomi, keuangan, di samping yang ahli Alquran. Lembaga itu dikendalikan antara lain oleh PhD bidang ekonomi (Hossein Askari), finance specialist (Hossein Mohammadkhan), PhD dalam Islamic Economics/Finance (Liza Mydin), web specialist (Mostafa Omidi).
Dalam Web resmi lembaga ini, mereka memang meniatkan ingin melembagakan ruang publik sesuai dengan arahan kitab suci Alquran. Mereka menurunkan aneka nilai yang diperjuangkan dan direkomendasikan Alquran dalam sebuah indeks. Termasuk di dalamnya nilai seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, penghormatan pada manusia yang kemudian dimasukkan ke dalam empat kategori yaitu Economic Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International Relation Islamicity Index.
Di tahun 2017, setelah indeks Islamicity resmi dibuat, mereka pun mencari data negara di seluruh dunia untuk mengetahui negara mana yang paling tinggi skor index Islamicitynya: yang bersih pemerintahan, ketimpangan ekonomi kecil, tinggi penghormatan pada hak asasi.
Dan hasilnya Top Ten negara yang paling islami, yang paling tinggi skor Islamicitynya adalah antara lain: Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanada, Australia. Sedangkan negara yang mayoritasnya Muslim justru skor Islamicitynya biasa saja dan cenderung rendah. Misalnya: Malaysia (rangking 43), United Arab Emirat (rangking 47), Indonesia (rangking 74), dan Saudi Arabia (rangking 88).
Menurut Denny JA, kesimpulan riset yang menohok adalah masyarakat yang mempraktekkan nilai-nilai sosial yang islami, yang dianjurkan Alquran justru terjadi di negara Barat. Banyak negara yang bahkan berlabel negara Islam tidak berhasil menggapai rangking teratas dalam mempraktekkan nilai yang islami. Yang mana yang lebih kita pentingkan? Label? Atau substansi? Label Islam atau praktek nilai Islami?
Maka pertanyaannya, apakah negara berlabel Islam dengan skor Islamycity rendah telah merubah Islam dan syariat Islam?
Berikutnya, Denny JA dalam tulisan dengan judul tersebut juga menuliskan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengembangkan indexnya sendiri untuk menguji kemajuan sebuah bangsa. Mereka membentuk khusus lembaga bernama UN Sustainable Development Solution Network (SDSN). PBB beranggapan kemajuan sebuah negara tak bisa diukur hanya oleh kemajuan ekonomi semata. Yang utama, negara harus mampu membuat warga negara merasa bahagia.
Untuk bahagia, tak hanya kebutuhan dasarnya tercukupi, tak hanya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Namun tercipta pula ruang sosial yang penuh dengan trust, tolong menolong, dengan pemerintahan yang bersih dan kompeten. SDSN menamakannya World Happiness Index. Aneka list mengenai prinsip manusiawi dirumuskan dalam index yang terukur. Lalu aneka negara di seluruh dunia diuji dengan data terukur.
Hasil dari pengukuran World Happiness Index di tahun 2018 adalah negara: Finlandia, Norwegia, Denmark, Iceland, Switzerlands, Netherland, Canada, Selandia Baru, Australia. Sementara negara yang mayoritasnya Muslim berada di level tengah: United Arab Emirat (20), Malaysia (35), Indonesia berada di bawah top 50.
Denny JA lantas mempertanyakan mengapa hasil Islamicity Index berdasarkan arahan kitab suci Alquran hasilnya tak banyak beda dengan World Happiness Index.
Jawabannya telah ia tulis sendiri pada paragraf berikutnya. Ia menuliskan bahwa pada dasarnya nilai terbaik dari agama Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan, itu sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan oleh peradaban mutakhir. Nilai yang Islami itu ternyata juga nilai yang manusiawi. Itulah ruang publik yang universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya.
Bukankah itu telah identik dengan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mengajak kepada kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat?
Bagaimana dengan akidah Islam dalam Ruang Publik Manusiawi? Jika dalam Islamicity Index ataupun World Happiness Index, hak beragama sesuai dengan keyakinan setiap individu warga negara dijunjung sangat tinggi karena itu adalah hak asasi yang paling dasar, maka dalam Islam manusia diberi kebabasan seluas-luasnya untuk memilih keyakinannya. Sebab dalam Islam, setiap manusia hanya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri.
Negara tak boleh mengintervensi dan menghalangi pelaksanaan akidah warga negara. Yang dilarang hanya jika ada upaya pemaksaan kehendak dan penyeragaman tafsir dengan kekerasan serta penistaan terhadap agama.
Karena itu, ruang publik yang manusiawi harus terus kita upayakan. Dunia sudah terbang menuju revolusi industri ke empat, mengembangkan artificial inteligence, robot yang bisa berpikir, menciptakan lagu dan mengganti banyak sekali pekerjaan manusia. Mari fokus ke sana! Mari berkarya dan berbahagia.
Soal fondasi bangsa sudah selesai. Pancasila tetaplah Pancasila sebagai fondasi atau dasar negara. Pelaksanaan pancasila secara komprehensif sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam (Syariah) bahkan seiring seirama.
Sehingga NKRI bersyariah justru akan menghasilkan ruang publik yang manusiawi. Karena menurut Denny JA, fondasi tersebut (Pancasila) sudah memadai mengantar Indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.
-Surabaya 15 Februari 2018-