SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Ada yang Hilang

Ada yang Hilang

[FlashFiction]

Langit sore yang biru, berkombinasi sempurna dengan hijau nan gagahnya gunung Lawu. Perjalanan terasa menyenangkan apalagi jika bersama dengan orang “yang disayang’. Sore ini bukan perjalanan kami yang pertama, tapi entah kenapa aku merasa kali ini begitu spesial. Aku mengenalnya sejak awal tahun lalu, semenjak pindah di kantor cabang kota ini. Dia ramah dan hangat. Singkat kata, dia menawan.

Awalnya aku merasa canggung dan ragu untuk dekat dengannya. Tetapi sikapnya kepadaku, memberiku ruang untuk melihatnya dari sisi yang berbeda. Dan pada akhirnya, Tuhan mentakdirkan kami bersama. Walau hubungan ini tabu dan salah menurut sebagian besar orang, bukankah menjadi gay itu takdir? Sebuah hadiah spesial dari Tuhan untuk makhluk-Nya. Meski menjadi pro-kontra dalam dunia psikologi, meski teori Gay itu telah runtuh, tapi aku (berusaha) menikmati takdir ini.

“di sana!” kataku pada Raden sambil menunjuk space kosong untuk parkir.

Gunung Lawu tepat di hadapan hotel tempat kami akan mengikuti pelatihan pekan ini.

Angin dingin berhembus membawa sedikit debu namun tetap mengantarkan kenyamanan. Riana beserta dua rekannya, bu Ana dan bu Ida, berdiri bersandar di pagar lantai tiga di sebuah hotel yang persis menghadap gunung Lawu. Mereka menikmati sore dengan memandangi gagahnya gunung Lawu di kejauhan.

“Ah kupikir akan sedingin apa? Ternyata hanya seperti ini. Aku sudah terlanjur membawa tiga jaket karena pak Is dan temanku bilang di sini lagi sangat dingin!” kata Riana kepada rekannya dengan manja.

“Siapa tahu nanti malam dinginnya baru datang.” hibur bu Ana, mereka lalu bercanda sampai sebuah mobil memasuki lahan parkir di bawah. Mereka bertiga iseng mengomentari setiap mobil yang datang. Mereka hanya penasaran orang seperti apa yang datang di hotel di kota kecil di bawah gunung seperti ini.

“Sekarang siapa yang datang?” tanya bu Ida dengan gaya seperti pembawa acara kuis.

Seseorang keluar dari kursi penumpang. Lelaki muda berkaos biru. Dengan menafikkan relativitas, lelaki itu cukup tampan dilihat oleh mereka dari lantai 3. Mereka saling pandang dengan pernyataan yang sama: tampan!

Lelaki berkaos biru berjalan ke arah belakang. Sedetik kemudian pengemudi yang keluar.

“waaa!” seru mereka bertiga sambil saling pandang. Kali ini mereka pun sepakat bahwa yang ini sungguh tampan dengan muka cenderung Timur Tengah berkombinasi dengan postur tinggi yang menawan. Si pengemudi lantas menyusul lelaki berkaos biru.

Riana dan rekannya memperhatikan Indra yang berkaos biru dan Raden yang menawan sedang bersama mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Mereka memperhatikan hingga Indra dan Raden berjalan beriringan menuju pintu masuk hotel. Mereka bertiga berpandangan dengan tatapan saling mempertanyakan, “bukankah hubungan mereka berdua terlihat aneh?”

Langit berubah menjadi jingga. Matahari terbenam di balik gunung Lawu. Bulan sabit remang-remang mulai nampak, meski ia sebentar lagi juga akan tenggelam di balik gagahnya gunung Lawu seakan ingin menyusul sang mentari.

Riana tak tahan dengan perutnya yang terus keroncongan sejak sore tadi. Sejak berangkat dari Surabaya pagi tadi, dia belum sempat memakan nasi meski telah makan berbagai camilan. Sehingga baginya, belum makan kalau belum makan nasi. Tanpa menunggu kedua rekannya, Riana turun ke resto di lantai 2. Dia menuruni tangga dengan cepat.

Tepat di belokan tangga, brakkk! Riana bertabrakan dengan Indra. Riana salah tingkah dan merasa sedikit takut, sebab dia telah memiliki penilaiannya sendiri terhadap Indra sore tadi. Riana menganggukkan kepala sambil mengucap maaf dan bergegas menuruni tangga.

Tatapan mata mereka bertemu.

Indra terdiam, setengah kaget, setengah terpesona melihat Riana dari jarak yang begitu dekat. Riana tidak begitu cantik, namun tatapan matanya sangat mempesona. Tatapan mata ketakutan Riana membawa arti lain di mata Indra. Seluruh tubuhnya kaku. Tiba-tiba hatinya bersedir. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat seakan mau pecah. Kakinya mendadak lemas. Semuanya terasa aneh bagi Indra.

“Tidak! mustahil!”, teriak batin Indra. Semua menjadi kacau. Indra menoleh, Riana sudah hilang di balik tangga.

Tenggorokannya seperti tercekat. Ada rasa yang sempat hilang, yang kini kembali. Rasa yang dulu sering menghampiri dirinya sebagai seorang lelaki. Rasa alamiah menyukai seorang lawan jenis.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER