SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Ekspresi

Ekspresi

WARGASERUJI – Sebagaimana masa depan, kebebasan adalah sebuah misteri. Kebebasan juga absolut, absolut relatif. Meski ada Undang-Undang yang melindungi kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat, nyatanya hukum masih seperti pisau yang tak bermata dua. Tajam di satu sisi, namun tumpul di sisi lainnya.

Saya tidak mampu menahan tawa, meski sebenarnya itu adalah ekspresi kepedihan, ketika melihat di sosial media ramai dengan netizen yang mengekspresikan dukungan kepada salah satu paslon pilpres dan menutupi wajah mereka. Ada yang menutupinya dengan kantong plastik, sajadah, bahkan dengan ember. Haha.

Bukankah ini adalah realita, bahwa kebebasan berekspresi hanyalah omong kosong?

Belakangan ini, sepanjang saya memperhatikan lingkungan sekitar, ataupun berkomunikasi, baik itu di pasar, di angkutan umum (kereta, bus, angkot, ojek), bahkan di dunia maya itu sendiri, membuat saya menarik pada satu kesimpulan. Yakni realitas adanya perasaan takut dan intimidasi pada mereka yang hendak mengekspresikan dukungan pada salah satu paslon pilpres. Yang ditakutkan bisa berupa sanksi sosial seperti diperlakukan dengan sinis, dijauhi, dimaki, bahkan sampai pada ketakutan akan sanksi hukum bagi mereka.

Mendukung salah satu paslon kelihatannya seperti melakukan sebuah kejahatan, setidaknya semacam kejahatan sosial. Sementara di sisi lain, mendukung paslon lainnya seperti bernafas yang merupakan kebebasan semua makhluk hidup, bahkan kewajiban jika ingin tetap hidup.

Ironis memang dengan istilah pada pemilu itu sendiri yang dikenal dengan sebutan pesta demokrasi. Namanya pesta, seyogyanya semua orang bahagia. Semua orang bebas berekspresi (tanpa harus mengabaikan norma). Dalam sebuah pesta demokrasi selayaknya setiap individu dijamin kebebasannya dalam menunjukkan ekspedisi dukungan.

Yang tidak boleh adalah menggunakan kekuasaan selaku aparatur negara untuk mendukung salah satu calon. Kalau sebagai pribadi, menggunakan harta benda pribadi, bukankah sah-sah saja? Apalagi kalau hanya sekedar mengekspresikan dukungan, di mana salahnya? Ah tapi sudahlah. Sudah menjadi rahasia umum, membicarakan politik dan kebebasan hanya berujung pada perdebatan unfaedah yang tiada ujungnya.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi di moment saat ini, kelihatannya hanyalah isapan jempol. Ah jangankan mau mengekspresikan dukungan. Mau jadi caleg yang jadi diri sendiri sembari tampil sebagai muslim saja di-cap jualan agama. Ironis sekali. Sementara mereka yang nge-blaming dengan jualan agama, justru tidak segan-segan kampanye dengan atribut agama. Super konsisten dalam inkonsistensi.

Tanpa bermaksud ikut membulli atau memperkeruh suasana. Hehe. Pesta demokrasi yang menguras dana milyaran (atau bahkan triliunan?) seharusnya menghasilkan output wakil rakyat yang berkualitas. Salah satu ukuran kualitas adalah konsistensi.

Konsistensi berbanding lurus dengan kualitas. Sebaliknya dengan inkonsistensi. Untuk melihat inkonsistensi tidaklah sulit. Bahkan lebih mudah daripada memvalidasi konsistensi. Mereka yang inkonsisten, amat sangat tidak layak dipilih menjadi wakil rakyat. Contoh inkonsisten yang paling mudah kita temukan adalah mereka yang hobinya membulli muslim dan islam, serta partisipan (?) mereka hobinya melabeli partai islam dengan label jualan agama, atau menuduh-nuduh islam/muslim intoleran, tapi gambar reklame caleg-caleg mereka justru tak lepas dari atribut agama. Orang-orang seperti ini hanya membuat keringat KPU mengalir tanpa makna, sia-sia belaka.

Benar-benar rumit. Tapi sebagai warga negara yang baik, kita tetap wajib mensukseskan pemilu tahun ini. Dengan memilih pilihan terbaik menurut hati kita. Ekspresikan pilihanmu di TPS!

Bagi yang masih sibuk dengan perdebatan “demokrasi haram” dan semacamnya, nyatanya kita hidup di negara demokrasi. Nyatanya, parleman itu tempat yang sah untuk memproduksi aturan-aturan. Daripada sibuk meributkan demokrasi haram atau akidah rusak karena nyoblos (bukan hal sepele kan kalau sampai akidah rusak?), nyatanya kita lemah dan tidak punya kekuatan untuk memperbaiki keadaan. Jadi sia-sia saja perdebatan itu. Super wasting time. Lebih bermanfaat untuk nyoblos khan daripada berdebat? 😉

Kembali soal ekspresi. Barangkali, cara paling aman mengekspresikan ekspresi, tanpa harus berbicara soal kebebasan, satu-satunya adalah dengan bermain drama. Hahaha

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER