WARGASERUJI – Orang yang merasa tahu itu berbahaya. Bahaya datang saat apa yang diketahuinya ternyata tidak benar. Ketika tiba pada situasi darurat, bisa melakukan tindakan yang berbahaya.
Istilah orang Jawa, disebut salah kaprah. Kalau kesalahan itu bukan sesuatu yang penting, mungkin akibatnya tidak begitu berbahaya. Bisa hanya untuk bahan tertawaan saja.
Merasa tahu itu berarti merasa cukup. Ini yang jadi penyakit sehingga berhenti mencari informasi, berhenti belajar. Kalau “merasa lebih tahu”, masih mending karena bisa jadi situasinya memang begitu. Seperti orang asli tentu lebih kenal daerahnya sendiri daripada pendatang baru.
Jika informasi yang diterima keliru, maka pengetahuan yang dimiliki juga keliru. Kalau kemudian hal itu mendasari bangunan pengetahuan selanjutnya, bisa membuat orang tersesat dalam pemahaman yang keliru.
Seorang ahli psikologi, Ellen J. Langer, memberi alternatif agar orang tidak tersesat dengan informasi yang keliru. Dia mengajukan alternatif cara menerima informasi agar tidak terjebak kondisi di atas. Kebetulan, seperti kebalikan dari merasa tahu.
Teks-teks yang bersifat absolut, oleh Ellen J. Langer diubah menjadi relatif. Contoh ekstremnya, teks “bumi itu bulat” dirubah menjadi “bumi itu mungkin bulat”. Terdengar aneh?
Kalau informasi absolut diterima mentah-mentah, maka akan menolak pernyataan seperti: “bumi itu tak sepenuhnya bulat”. Atau, “bumi itu pepat”.
Penambahan kata “mungkin” membuat pernyataan tidak absolute. Otak menerima informasi tapi masih dengan membuka berbagai kemungkinan, sehingga ketika terjadi perubahan paradigma akan cepat beradaptasi.
Kesimpulannya, merasa tahu itu berbahaya, sehingga mungkin diubah dengan memberi kata relatif. Contohnya, dengan “sebatas yang aku tahu”, atau “kurang lebih itu yang aku tahu”. Dengan itu, akan lebih mungkin memperbaiki pengetahuannya yang keliru.