Setiap kali akan pemilu selalu muncul himbauan, ulama jangan berpolitik. Ulama sebaiknya berada pada posisi netral. Masjid jangan dijadikan tempat berpolitik. Masjid adalah sarana ibadah dan jangan dijadikan tempat kampanye politik. Namun sebaliknya disisi lain banyak ulama yang dijadikan sebagai corong politik untuk mensosialisasikan berbagai kepentingan politik. Dalam setiap kampanye ulama didekati dan bahkan dimasuk sebagai pembina relawan seorang kandidat. Untuk memuluskan jalan bagi paslon yang mereka dukung, mereka tidak segan menyitir ayat dan teks-teks keagamaan sebagai “legitimasi teologis”. Tidak jarang pendapat para ulama kesohor dari kawasan Timur Tengah juga ikut disitir guna menyokong pendapat mereka.
Ketika ijtimak ulama mengajukan nama dua (Abdul Somad dan Salim Assegaf ) untuk calon wakil presiden berbagai tanggapan muncul dan media sosial ramai. Ada yang menganggap terlalu dini untuk mencalonkan Abdul Somad sebagai wakil presiden. Mereka beralasan Abdul Somad tidak punya pengalaman dalam pemerintahan dan memimpin sebuah organisasi besar. Bahkan ada yang meminta sebaiknya Abdul Somad tetap konsisten pada jalur dakwah yang telah dipilihnya yakni jadi ustadz untuk pencerahan ummat.
Jika dilihat dari sejarahnya ternyata pembatasan gerak ulama dalam politik telah terjadi sejak zaman Belanda. Belanda membuat berbagai Undang-Undang Pemerintah (Regeering Reglement) dan Undang-Undang Politik (Politieke Maatregel) guna mengisolasi para ulama / tokoh agama dari berbagai kegiatan atau aktivitas yang dapat menimbulkan implikasi politik (rust en orde—ketentraman dan ketertiban). Belanda membonsai peran politik ulama karena mereka sadar bahwa ulama merupakan kelompok elit yang memiliki “kharisma tradisional” dan mampu memobilisir massa untuk menentang pemerintah kolonial sehingga berpotensi menciptakan kekacauan sosial-politik.
Namun sejarah juga membuktikan bahwa peran ulama dengan pondok pesantrennya berperan aktif dalam menentang penguasa kolonial. Sikap penentangan para ulama atas Belanda itu ada yang berbentuk perang terbuka seperti “Perang Jawa” (1820–1825), Perang Paderi (1825 – 1835) atau Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Adapula yang berbentuk “perang terselubung” seperti ditunjukkan oleh Kiai Ahmad Rifa’i, pemimpin Sekte Rifa’iyyah di pedalaman Jawa Tengah.
Dalam pergerakan kemerdekaan peran ulama juga tidak kecil. Serikat Islam punya andil besar dalam pendidikan politik rakyat Indonesia di awal abad dua puluh. Diawal kemerdekaan, Masyumi yang didirikan oleh para ulama, tokoh-tokohnya muncul sebagai perunding ulung dalam menghadapi Belanda. Muhammad Natsir dan Gusdur adalah contoh ulama yang pernah memimpin negeri ini di pemerintahan. Takbir Bung Tomo menggelegar untuk menggerakkan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kota Surabaya.
Pola Belanda yang menempatkan para ulama dipinggir kekuasaan kembali didengungkan pada hari ini. Mereka takut kejadian pada pilkada Jakarta akan terulang dimana ulama masuk dalam kancah politik dengan mendukung calon gubernur muslim. Ulama diajak agar jangan mengurusi politik kekuasaan karena dunia politik kekuasaan itu kotor dan korup dan tidak layak bagi ulama untuk berkecimpung di dalamnya. Ulama cukup berada di bidang spiritual keagamaan yang sakral.
Padahal Islam sama sekali tidak melarang ulama dan umatnya untuk berpolitik. Keterlibatan ulama di dunia politik diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan kesejahteraan masyarakat. Ulama bukan hanya mengimami salat, mengaji, berkhutbah, mengisi pengajian atau ceramah saja, namun dia juga pemimpin yang mengayomi masyarakatnya seperti yang pernah dipraktekkan oleh Walisongo dan para ulama tempo dulu.
Semoga apa yang telah ditunjukkan para ulama dengan ijtimaknya untuk calon wakil presiden dan usaha memenangkan calon gubernur muslim di DKI akan menjadi sebuah titik awal dalam peran ulama secara penuh diperpolitikan Indonesia. Seperti kata Aa Gym, ulama jangan hanya menjadi pendorong mobil mogok, tapi harus tampil jadi sopirnya sekaligus.