Semoga dengan saya menuliskan judul ini tidak akan membuat saya dipersepsikan sebagai warga negara yang anti pancasila.
Dipicu oleh pernyataan Habib Rizieq Shihab(HRS) tentang NKRI bersyariah, Denny JA membuat tulisan berjudul “NKRI bersyariah atau ruang publik yang manusiawi”. Di awal tulisannya Denny menyarankan kepada HRS agar gagasan NKRI bersyariahnya diterjemahkan dalam indeks yang terukur. Kemudian indeks tersebut diuji dengan melihat dunia berdasarkan data. Setelah dua tahap itu ia selesaikan, kita bisa merespon gagasan NKRI bersyariah itu lebih rinci.
Meski diawal tulisan Denny mengatakan gagasan NKRI bersyariah belum bisa direspon secara rinci namun diakhir tulisannya menurut saya Denny mengasumsikan bahwa gagasan NKRI bersyariah Habib Rizieq akan merubah fondasi negara dari negara pancasila menjadi NKRI bersayariah. Hal itu nampak dari kalimat “ Apa yang pendiri bangsa rumuskan sebagai fondasi bangsa? Itu adalah Pancasila, bukan NKRI Bersyariah!”
Apakah Habib Rizieq ingin merubah fondasi negara? Belum tentu. Apakah NKRI bersyariah bertentangan dengan pancasila? Mari kita simak pidato HRS pada reuni 212 tanggal 2 desember 2017 sebagai berikut ”NKRI bersyariah adalah NKRI yang beragama, bukan atheis, komunis atau tanpa agama. NKRI bersyariah adalah NKRI yang berketuhanan Yang Maha Esa, NKRI bersyariah NKRI menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sujud dan patuh pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
NKRI bersyariah adalah NKRI yang mencintai ulama, bukan mengkriminalisasi atau menterorisasi mereka, NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri. NKRI bersyariah menjauhi dari ekonomi riba, NKRI bersyariah anti-korupsi, anti-judi dan narkoba, anti-pornografi, anti-prostitusi, anti-LGBT, anti-fitnah, anti-kebohongan, anti-kezaliman” (Detik.com 2 Desember 2017).
Bila kita cermati, poin-poin yang disampaikan HRS adalah
1. NKRI bersyariah adalah NKRI yang beragama, bukan atheis, komunis atau tanpa agama.
2. NKRI bersyariah adalah NKRI yang berketuhanan Yang Maha Esa,
3. NKRI bersyariah NKRI menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sujud dan patuh pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. NKRI bersyariah adalah NKRI yang mencintai ulama, bukan mengkriminalisasi atau menterorisasi mereka
5. NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri
6. NKRI bersyariah menjauhi dari ekonomi riba,
7. NKRI bersyariah anti-korupsi, anti-judi dan narkoba, anti-pornografi, anti-prostitusi, anti-LGBT, anti-fitnah, anti-kebohongan, anti-kezaliman
Dari ketujuh poin diatas menurut saya semuanya bagus dan perlu didukung, maka saya setuju dengan gagasan NKRI Syariah versi HRS tersebut . Toh kenyataannya ketujuh poin diatas sekarang ini belum sepenuhnya membumi di indonesia.
Bagi saya poin yang paling “out of the box” adalah poin ke-6 yang menyatakan NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjauhi ekonomi riba, karena poin ini jarang dijadikan isu nasional. Muslim sudah sangat faham bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al Qur’an Surat: Al-Baqarah ayat 278-279)
Prof Daniel Muhammad Rosyid guru besar ITS menyatakan bahwa utang ribawi mempunyai ciri kas: jumlahnya makin membesar dan sumbernya makin banyak. Artinya makin banyak alasan untuk berutang (SERUJI.CO.ID 1 September 2018).
Di portal yang sama beliau juga menyatakan “Mengapa begitu banyak warga kita hidup dalam kemiskinan? Rasulullah SAW mengatakan bahwa 9 dari 10 rezeki datang dari perdagangan. Allah SWT menghalalkan perdagangan tapi mengharamkan riba. Riba adalah semua transaksi yang memastikan keuntungan tanpa resiko sepihak, sementara pihak lainnya yang bertransaksi dipaksa memikul resiko. Ini adalah cara bathil memperoleh keuntungan di atas penderitaan orang lain. Bunga pinjaman adalah salah satu bentuk riba. Peminjam harus membayar hutangnya walaupun dia rugi sedangkan pemberi pinjaman untung terus.” (SERUJI.CO.ID 16 Juni 2018)
Dan NKRI saat ini memang sedang terjerat riba hutang luar negeri yang ribawi yang semakin hari semakin menumpuk. Persis seperti pendapat prof Daniel bahwa ciri khas utang ribawi salah satunya semakin hari utang semakin membesar.Pada saat merdeka utang NKRI yang diwarisi dari pemerintahan Belanda sebesar 60 trilliun rupiah, 73 tahun kemudian utang luar negeri Indonesia naik hampir seratus kali lipat. Pada akhir November 2018 utangnya sebesar 5.238 trilliun rupiah (Merdeka.com 24 januari 2019)
Prabowo Subianto dalam buku yang ditulisnya yang berjudul Paradoks Indonesia (sebuah buku yang berisi pandangan strategis prabowo terhadap permasalahan bangsa Indonesia) mengungkapkan sejak tahun 2012, negara harus membuat utang baru untuk membayar bunga utang yang sudah jatuh tempo karena keseimbangan primer kita defisit. Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara diluar pembayaran bunga utang.
Dalam buku itu juga disajikan data angka defisitnya yang sumber datanya diambil dari kementerian keuangan. Pada tahun 2012 Indonesia defisit 52,7 trilliun rupiah kemudian meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2017 defisitnya sudah mencapai 109 trilliun rupiah. Artinya pada tahun 2017 negara harus membuat utang baru sebesar 109 trilliun rupiah demi membayar bunga utang (bukan pokok utang) yang jatuh tempo pada tahun 2017.
Sebagai perbandingan biaya pemilu serentak tahun 2019 ini sebesar 24,9 trilliun rupiah. (Tirto.ID 16 Agustus 2018). Jadi uang yang didapatkan dari utang yang dialokasikan untuk membayar bunga utang pada tahun 2017 nilainya setara dengan biaya 4 kali pemilu serentak (Pileg dan Pilpres).
Maka tak perlu diragukan lagi bahwa riba memang merugikan satu pihak dan sangat menguntungkan pihak lain, Maha benar Allah dengan segala firmannya. Dan ekonomi bebas riba ini juga sangat sesuai dengan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bila kita sudah sepakat NKRI harus bebas dari ekonomi riba tentulah akan muncul pertanyaan bagaimana caranya? Apa kita bisu terlepas dari jeratan riba? Dalam konteks yang berbeda saya ingin meminjam kata-kata Prabowo Subianto “Janganlah kita bertanya-tanya, mampu?, Apa Mampu? Bisa tidak dilaksanakan? Lho kok tanya bisa, ini bukan masalah bisa atau tidak bisa, ini masalah harus kita laksanakan. Kita harus hadapi dan selesaikan.
Nah dari bahasan singkat terhadap poin ke-6 NKRI bersyariah versi HRS menunjukkan bahwa gagasannya bagus. pada tulisan kali ini saya tidak hendak membahas poin-poin lainnya, saya hanya ingin menekankan bahwa NKRI bersyariah yang digagas oleh HRS tidak ada yang berlawanan dengan pancasila dan bagus untuk dilaksanakan.
Bila Denny JA seolah membuat pilihan antara lebih memilih substansi apa label? Maka saya tidak ingin terjebak untuk memilih. Saya berpendapat yang penting substansinya namun tidak perlu mempermasalahkan label.
Maksud saya begini, sah-sah saja HRS melabeli tujuh poin idenya tersebut dengan NKRI Bersyariah, tidak perlu dipermasalahkan dan tak perlu terlalu jauh berfikir bahwa HRS akan merubah pondasi bangsa dari pancasla menjadi NKRI bersyariah. Sama halnya ketika timses Jokowi mencetuskan ide dengan label Nawacita ya boleh-boleh saja tidak perlu curiga Jokowi akan merubah pondasi bangsa Pancasila menjadi Nawacita. Maka santai saja Bro and Sist….