SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Saktinya KIP, Pemegangnya Dijamin Diterima di Sekolah Favorit di Zonanya

Saktinya KIP, Pemegangnya Dijamin Diterima di Sekolah Favorit di Zonanya

Asyiknya jadi warga yang rumahnya satu zona dengan sekolah favorit, apalagi bila punya KIP, tanpa dilihat nilainya maka akan langsung diterima di sekolah favorit yang jadi idaman para siswa berprestasi.

KIP (Kartu Indonesia Pintar) pemiliknya tidak harus pintar seperti nama kartunya, cukup berasal dari keluarga tidak mampu maka anda berhak memiliki KIP tersebut. Tapi defacto oleh pemerintah setiap pemegang KIP dianggap pintar sehingga bisa masuk sekolah manapun yang sezona tanpa seleksi alias dijamin diterima 100%.

Contohnya kasus di Sukoharjo, salah satu SMP favorit di Sukoharjo adalah SMPN 1 Sukoharjo. Siswa SD yang melek pendidikan mayoritas bermimpi bisa masuk sekolah tersebut. Anak teman saya bertempat tinggal di kabupaten Wonogiri yang berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo ingin sekali masuk ke SMPN 1 Sukoharjo yang berjarak 10 km dari rumahnya dengan akses kendaraan yang mudah.

Karena pemberlakuan kuota luar zona hanya 25 siswa maka anak temanku yang nilai UN nya 24,85 tidak lolos seleksi sebab dia ranking 27 dari sesama pendaftar yang dari luar zona, sedangkan rangking dari keseluruhan pendaftar tanpa memperhatikan zonasi dia rangking 100. SMP tersebut menerima 300 lebih siswa.

Namun ada hal yang menyakitkan bagi anak temanku tersebut, sebab dia melihat ada yang nilai UN nya 15 bisa diterima karena punya KIP dan sezona dengan SMP tersebut, dan tidak hanya satu orang yang nilai UN nya 15 diterima. Nilai UN 15 artinya nilai rata-rata UN nya hanya 5 sedangkan anak temanku yang nilai UN nya 24,85 nilai rata-ratanya 8 lebih. Hal ini secara psikologis cukup membuat anak teman saya tersebut merasa terdholimi.

“Mama dulu kenapa tidak mindahin KK ku diikutkan bude X di Sukoharjo?” protes anak lulusan salah satu MIN favorit di Sukoharjo tersebut kepada mamanya

“Enak ya ma jadi orang miskin, tidak usah belajar bisa masuk SMP N 1,” celotehnya lagi

Dan saya mendengar cerita yang hampir sama dengan celoteh anak tersebut dari beberapa orang tua yang anaknya gagal masuk ke sekolah favorit. Bisa jadi celoteh anak tersebut mewakili banyak perasaan siswa-siswa yang kalah dengan pemegang KIP.

Ini cerita lain di wilayah Klaten setahun yang lalu, ada anak seorang bidan yang tidak lolos seleksi di suatu sekolah, tetapi anak pembantunya bisa lolos seleksi di sekolah yang sama dan juga sezona dengan anaknya. Padahal anak bidan tersebut nilai UN nya lebih tinggi dari nilai UN anak pembantunya, tetapi karena anaknya tidak punya KIP seperti yang dimiliki anak pembantunya maka anaknya harus menelan pil pahit atas kegagalan tersebut. Apakah pemerintah tidak memikirkan aspek psikologis anak yang tidak memiliki KIP?

Yang lebih memprihatinkan lagi, ada keluarga yang mampu tapi mencari SKTM (Surat Keterangan tidak Mampu) demi memuluskan jalan masuk sekolah favorit. Dan di Jateng kuota untuk SKTM tidak dibatasi, jadi berapapun siswa yang mendaftar asal miskin dan sezona maka sekolah akan menerimanya.

Selain KIP ada satu lagi tiket gratis masuk sekolah favorit, cukup menjadi anak guru di sekolah favorit tersebut maka nilai UN nya berapapun akan otomatis diterima. Namun bila guru tidak mengajar di sekolah yang bersangkutan, anak guru tetap dapat keistimewaan berupa poin nilai.

“Ayah kok dulu jadi dokter sih, kok nggak jadi guru saja!” demikian protes anak temanku pada ayahnya karena gagal masuk di SMA favorit di Solo padahal nilai UN nya bagus.

Dan sekarang siswa-siswa berprestasi dihibur dengan “pembodohan” bahwa sekarang tidak ada lagi sekolah favorit, semua sekolah sama saja. Geleng-geleng kepala saya mendengar “pembodohan itu”. Saya adalah anak kampung yang jauh dari kota punya pengalaman bermimpi bisa sekolah di sekolah favorit. Dan alhamdulillah cita-cita saya kesampaian, karena waktu itu tidak ada diskriminasi, yang ada dipikiran saya saat itu hanyalah nilai UN bagus maka bisa memilih sekolah dimana saja.

Bermimpi bisa masuk di sekolah favorit bukan dalam rangka mencari gengsi agar dipuji, tapi dalam rangka ingin mendapatkan tempat belajar yang istimewa sebagai batu loncatan untuk meraih cita-cita profesi di masa depannya.

Dengan sekolah di sekolah favorit saya bisa mendapatkan pengalaman mempunyai teman-teman yang serius sekolah, guru-guru yang serius mengajar. Pengalaman punya teman-teman yang serius belajar merupakan modal besar untuk meniti kehidupan selanjutnya, bahwa “hidup itu harus berjuang tidak hanya ongkang-ongkang kaki.”

Mungkin ada baiknya pengambil kebijkan mengevaluasi kebijakan yang mengistimewakan pemegang KIP dan kebijakan zonasi tersebut. Karena kebijakan tersebut tidak adil dan tidak mendidik mental anak bangsa untuk berjuang dan merasakan nikmatnya hasil perjuangan. Menurut saya penerimaan siswa baru cukup menggunakan parameter nilai murni UN saja.

Pengalaman saya selama sekolah yang nilai UN nya bagus biasanya memang yang kesehariannya pintar, memang terkadang ada kejutan misal biasanya rangking 10 tapi nilai UN nya bisa rangking 2. Dan saya belum pernah menemui yang biasanya rangking bontot tiba-tiba nilai UN nya manjadi peringkat atas.

Kebijakan pengistimewaan tempat tinggal (zonasi), strata ekonomi (KIP) dan profesi (anak guru) seperti yang berlaku sekarang ini justru mengajarkan anak untuk berkompetisi dengan cara yang tidak sehat, dimana ada yang dibela dan ada yang didholimi. Apa salahnya anak-anak yang terlahir dari keluarga yang mampu dan bertempat tinggal diluar zona sekolah favorit? Apa salahnya anak yang orang tuanya tidak berprofesi sebagai guru? Kenapa mereka harus dihadapkan pada sesuatu diluar jangkauan ikhtiarnya?

Bila ingin menolong warga kurang mampu caranya cukup dengan membiayai pendidikannya, tidak harus berlebihan sampai mengistimewakan mereka bisa diterima disekolah manapun. Bila ingin mengatasi kemacetan jangan siswa berprestasi yang dikorbankan (konon kabarnya kebijakan zonasi ini meniru DKI karena dalam rangka mengurang kemacetan). Bila ingin memberikan penghargaan lebih pada guru berilah penghargaan pada yang bersangkutan bukan pada anaknya.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER