Orang-orang Barat punya pandangan (stereotip) negatif terhadap Islam. Islam digambarkan sebagai agama yang menyuruh melakukan terorisme, penindasan terhadap kaum perempuan, penyembahan terhadap berhala, dan lain-lainnya. Setidaknya menurut kesaksian beberapa orang Barat yang masuk Islam, hal itu akibat dari pemberitaan media, atau pers.
Apakah pers Barat melakukan kebohongan publik? Bisa jadi ada, namun secara arus besar (mainstream) tentu tidak. Kebohongan itu mudah terdeteksi, dan di zaman informasi yang terbuka akan menjadi noda yang sangat merugikan bagi perusahaan pers yang melakukannya, hancur kredibilitasnya.
Kalau begitu, bagaimana pers Barat mampu “menipu” sebagian besar orang di dunia yang sekarang jadi kiblat peradaban dunia? Jawaban secara ringkas bisa dikatakan dengan: tidak perlu “menipu” agar orang “tertipu”.
Berikut ini rahasianya.
Secara umum, cara membuat orang tertipu adalah dengan menyebarkan berita atau narasi yang menarik orang untuk membuat kesimpulan sendiri, dengan persepsinya masing-masing. Tanpa disadari si pembaca, berita yang disiarkan secara berulang-ulang menguatkan hanya ke salah satu kesimpulan yang diinginkan oleh media.
Tekniknya? Ada banyak. Pertama, dengan seleksi berita. Wartawan yang bekerja di lapangan, memberi informasi sebanyak-banyaknya ke meja redaksi. Redakturlah yang memilih berita. Jika dewan redaksi anti Islam, pastilah lebih tertarik memunculkan berita yang menunjukkan buruknya muslim, atau yang sejenis.
Kedua, lebih kasar. Yakni dengan mencari orang-orang yang memusuhi Islam untuk diambil kutipan wawancaranya. Berbohong? Tidak. Bahkan kuat secara legal dengan bukti rekaman, misalnya. Ringkasnya, meminjam kata dari orang yang berbohong.
Ketiga, lebih sadis. Bisa saja yang diwawancarai orang netral, atau kejadian sesungguhnya. Tapi, dipotong sana-sini. Cara ini kalau kurang licik, bisa kena batunya. Hanya, kebanyakan orang tak begitu memperhatikan, atau apatis, sehingga batunya tak mengenai.
Ada lagi? Tentu. Cara kasar, lembut atau sadis. Mau bagaimana lagi, itulah kekuatan media yang mampu menyetir opini publik. Sangat mungkin, saat ini setiap pembaca sudah terpengaruhi secara tidak sadar. Entah terpengaruh kebaikan, keburukan, atau tertipu mentah-mentah.
Bagaimana mengatasinya agar tak mudah tertipu, atau salah paham gara-gara media?
Cara rumit, bekerja lebih keras mencari kebenaran, dengan klarifikasi sana-sini. Cara sederhana, meletakkan segala informasi yang diterima sebagai sebuah kemungkinan, serta selalu waspada pada diri yang sangat mungkin bisa salah paham terhadap sesuatu.
Bukankah sudah diajarkan untuk selalu berdoa minta petunjuk dariNya? Dan bukankah dengan doa tersebut secara otomatis telah memposisikan diri untuk tidak memastikan secara “sombong” paling benar se-dunia?
Oleh karenanya, tak usah silau dengan jargon-jargon media seperti “paling jujur”, “paling berimbang”, dan lainnya. Tetap saja, media apapun, pro atau kontra, harus diwaspadai titik kebenarannya. Jangan mudah ambil kesimpulan. Bahkan terhadap tulisan ini.
Ooooo, begitu yaa..