Informasi yang keliru memang membahayakan. Namun, ketika segera diklarifikasi, mudah sekali mengembalikan ke situasi semula. Sebaliknya, informasi yang benar malah sulit memperbaiki situasi setelah menjadi buruk karenanya.
Berikut ini beberapa aspek yang menyebabkan informasi yang benar bisa mengundang bencana. Atau dalam skala yang lebih ringan, menyebabkan kesalahpahaman.
1. Informasi benar namun hanya sebagian
Ini bisa digambarkan dengan kisah tiga orang buta yang disuruh mendeskripsikan seekor gajah. Tergantung mana yang disentuh. Ada yang bilang seperti tabung karena pegang kakinya, ada yang bilang tipis lebar karena pegang telinganya.
Sesungguhnya, semua informasi yang diterima seseorang pastilah hanya sebagian. Tidak mungkin lengkap. Karena itu, kesimpulan atas sebuah informasi selalu mengandung galat (atau error).
Maka, perlu cari aman. Kesimpulan dari sebuah informasi dibatasi hanya yang tidak dipengaruhi galat. Kalau dalam pengukuran, sering digunakan istilah toleransi, dan diberi tanda baca plus-minus. Semakin banyak pengukuran dilakukan, semakin tinggi tingkat presisinya, semakin kecil galatnya.
Pelajaran yang bisa diambil, jangan anggap sebuah informasi itu sudah lengkap. Bisa jadi, perlu banyak informasi lain yang menyusun keping-keping teka-teki dari sebuah persoalan. Jadilah rendah hati agar mampu membuka diri dengan informasi berikutnya.
2. Informasi benar tapi berbeda konteks
Seorang anak disuruh mengerjakan PR mengukur sudut dalam dari sebuah segitiga. Hasilnya, 190 derajat. Padahal, di sekolah diajarkan oleh gurunya, jumlah sudut dalam dari sebuah segitiga pasti 180 derajat, tidak lebih dan tidak kurang. Apakah si anak itu keliru?
Bisa jadi, anak tidak keliru mengukur. Hanya berbeda “konteks” saja. Ternyata, segitiga yang diukur olehnya terletak di bidang lengkung. Sedangkan apa yang diajarkan oleh guru adalah segitiga di bidang datar sempurna.
Demikian juga, mendengar orang bercerita seringkali salah diterima jika tidak dimengerti konteksnya. Cara yang ter mudah agar tidak keliru, letakkan informasi dalam posisi mengembang. Tidak sebagai informasi yang benar dan tidak pula sebagai informasi yang salah. Menunggu informasi terkait apa konteksnya.
3. Informasi benar tapi disampaikan “orang bermasalah”
Bukan salahnya “orang bermasalah”. Yang membuat keliru memahami informasi adalah karena menganggapnya sebagai “orang bermasalah”. Muncul prasangka, sehingga informasi yang diterima diragukan, atau bahkan jadi salah paham.
Contoh anekdotnya, ada mantan preman yang hendak mengembalikan golok. Karena dikira mau mengamuk, bukannya menerima pengembalian dari preman itu, malah lari tunggang-langgang.
Poin yang ketiga ini yang sulit lepas dari setiap orang. Orang itu suka menilai orang lain. Jarang yang suka becermin. Informasi yang keluar dari mulut seseorang selalu dikaitkan dengan “nilai pribadi”-nya. Sehingga, kalau orang yang dipuja pasti selalu dibenarkan, dan orang yang dibenci selalu disalahkan.
Karena sulit dilepas dari masing-masing orang, maka cara terbaik untuk mereduksinya adalah dengan menyadari dalam diri pasti ada prasangka. Kemudian usahakan hilangkan prasangka, atau ubah dengan prasangka baik.
4. Informasi benar tapi tak seharusnya didengar
Bagaimana saat mendengar kata “dekil”, “kotor”, “kasar”, dan sejenisnya? Umum sekali kata-kata tersebut disikapi negatif. Yang menjadi masalah, ketika kata-kata itu disematkan kepada seseorang dan disampaikan kepada orang lain.
Bisa jadi, orang yang dimaksud benar-benar kotor, kasar dan dekil. Namun, menerima informasi tentang hal itu sebelum bertemu sendiri dengan orangnya membuat adanya sekat yang sangat tajam. Hal ini tentu mempengaruhi sikap, sehingga akan mengawali komunikasi yang buruk.
Terkait hal ini, Nabi Muhammad memberi contoh umatnya dengan akhlak mulia. Ketika seseorang sedang berusaha menceritakan pribadi orang lain, segera dihentikan Nabi dengan alasan agar bisa menemui tanpa prasangka apapun.
Bahkan, Allah mengajarkan hal yang lebih tegas dan luas, dengan melarang melakukan ghibah terhadap saudaranya yang lain.
–00–
Kalau terhadap informasi yang benar saja bisa mendatangkan bahaya atau kesalahpahaman, apalagi dengan informasi yang tidak jelas kebenarannya. Hanya orang yang tenang, sabar dan rendah hati yang mampu mengatasi berbagai fitnah di tengah zaman informasi ini.