SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Ngerumpi tentang Sektor Publik

Ngerumpi tentang Sektor Publik

Masyarakat sering menilai sektor publik penuh inefisiensi dan inefektifitas. Karena banyak faktor yang terlibat dalam sektor ini, mulai aspek politik, keinginan publik yang sering sulit didevinisikan, bercampur-baur dengan ketidakprofesionalan ASN kita. Demikian pula liberalisasi pasar yang ugal-ugalan, sampai masalah budaya kita yang “Asia” dengan berbagai bentuk toleransi atas ketidakpatutan pelayanan publik.

Pandangan miring seperti ini dimiliki oleh rekan penulis yang bergelar Master lulusan luar negeri. Menurutnya terlalu banyak politisasi dan pertimbangan yang membuat sektor publik di Indonesia tidak mampu memberikan layanan yang ideal seperti harapan masyarakat. Sistem penilaian kinerja ASN seringkali tidak berbanding lurus dengan reward dan penghargaan kepada sang Abdi Negara.

Bagaimana bisa lulusan terbaik (cumlaude) universitas terbaik dengan semangat tinggi, akhirnya ditempatkan di bagian administrasi oleh sektor publik tempatnya bekerja. Hal tersebut seperti “merendahkan” potensi dan passion yang telah disampaikannya saat proses assessment melamar sebagai ASN. Dia pun harus menanti dengan sabar kondisi tidak ideal tersebut, sementara tiga temannya telah keluar dari sektor publik dan memilih terjun ke sektor swasta.

Bahkan rekan saya telah sampai pada kesimpulan bahwa, “private sector is perfect, public sector is bulshit!” (meminjam kata-kata seorang pakar sektor publik di Indonesia). Tidak jauh-jauh, bagaimana ASN kita menyiasati sistem untuk melanjutkan kinerjanya yang biasa-biasa saja. Mereka memberikan pelayanan publik yang lambat serta menganggap masyarakat bukan sebagai konsumen yang harus dilayani sebaik-baiknya, apalagi “raja”.

Sepertinya pandangan miring seperti itu tidak sepenuhnya benar. Bukankah dalam sistem demokrasi dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung bisa terpilih beberapa kepemimpinan yang inovatif dan kreatif. Mungkin masyarakat lupa terdapat Tri Rismaharini yang membuat Surabaya bersih dan hijau dengan taman-taman kota yang mendapatkan apresiasi di tingkat Asia bahkan Dunia. Ada pula Ridwan Kamil yang menata Kota Bandung dengan konsep-konsep yang sejalan dengan keahliannya di bidang arsitektur dan city planning.

Penulis pernah merasakan perbaikan layanan public, setidaknya toilet yang bersih dan gratis di stasiun kereta api. Atau mengurus SIM sesuai dengan tarif dan SOP layanan, serta Surat Cabut Berkas SIM dan laporan kehilangan di Kepolisian yang benar-benar free alias gratis dengan layanan cepat. Bukankah yang penulis sebutkan tersebut sektor publik?!. Seharusnya perkembangan positif ini diapresiasi, agar semakin memacu perbaikan layanan sektor publik lainnya.

Memang sektor publik terkait erat dengan politik yang seringkali punya ukuran “kebenarannya” sendiri. Kebenaran politik adalah tentang narasi dan kekuasaan yang seringkali mengorbankan konsistensi. Pihak yang menolak keras kenaikan harga BBM, bahkan dengan mengeluarkan “buku putih“, bisa berbalik menjadi pendukung dinaikkannya harga BBM saat berada di kursi kekuasaan. Sebuah perubahan posisi politik yang menyebabkan tekanan publik yang keras, karena masyarakat masih mengingat pilihan posisi sebelumnya. Inkonsistensi mengganggu akal sehat rakyat.

Meskipun dalam sudut pandang kebijakan publik, bisa jadi harga BBM sesuai pasar (mahal) akan mengurangi dorongan masyarakat membeli kendaraan bermotor. Dipadukan dengan kebijakan transportasi masal dan keteladanan para pemimpin untuk memanfaatkannya, akan mengurai permasalahan kemacetan di kota-kota besar kita. Oleh karena itu, ASN haruslah terbebas dari afiliasi politik, dan tidak ikut-ikutan dalam perebutan kekuasaan pada momen-momen Pilkada, Pileg ataupun Pilpres.

Tentu saja sebuah kebijakan yang tidak bijak haruslah diperbaiki. Tumpang tindih aturan haruslah diurai, disinkronisasi dan disederhanakan. Belajar dari penyederhanaan dan harmonisasi peraturan di Korea Selatan telah membantu pemulihan ekonomi Negeri Ginseng pasca krisis 1998. Hasilnya adalah perbaikan iklim investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

Swastanisasi sektor publik tidak selalu menjadi mantra sakti yang bisa menyelesaikan segala permasalahan. Konsep-konsep baru seperti new public management (NPM) harus dikaji mendalam sebelum dilaksanakan untuk mengambil keuntungan darinya tanpa harus dirugikan karena adanya hidden agenda yang sedang dimainkan aktor-aktor ekonomi politik global. Reformasi kebijakan publik dengan memprioritaskan sektor yang urgent dengan takaran dan pendekatan yang tepat akan membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik.

Bagaimanapun politisi bukanlah malaikat, tetapi juga bukan setan. Kebijakan yang lahir dari sebuah proses politik bisa juga tentang kebaikan. Selalu terdapat harapan seiring membaiknya paradaban manusia Indonesia, sebuah harapan perbaikan secara gradual. Pengerukan gorong-gorong mampet secara massif setidaknya membuat rakyat percaya pemerintahnya bekerja untuk mengurangi dampak banjir “tahunan”.

Negara Asia seperti Singapura dan Malaysia yang dulu berawal dari start yang relatif sama dengan Indonesia, kini menjadi negeri yang maju dengan ukuran sebuah negara. Optimisme tidak boleh hilang dari akal kesadaran kita semua, apalagi di kepala kaum terdidik, cerdik cendekia yang pernah merasakan hidup di negeri maju. Percayalah sektor publik selalu penuh kejutan.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER