Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, kejarlah mimpimu sampai setinggi langit. Itulah kata-kata motivasi yang sudah sangat populer di telinga kita. Motivasi yang memerdekakan jiwa kita untuk bermimpi meraih apapun meskipun nampak mustahil untuk diwujudkan. Terlalu banyak contoh seseorang bermimpi nampak mustahil terwujud tapi dikemudian hari mimpi tersebut bisa berubah menjadi kenyataan.
Ironisnya di jaman now, di negeriku Indonesia, oleh pemegang otoritas pendidikan justru memberlakukan aturan yang membatasi mimpi-mimpi anak negeri. Anak kampung yang rumahnya jauh dari kota dibatasi mimpinya untuk sekolah di sekolah favorit hanya karena tidak sezona. Hanya karena beda kecamatan sudah bisa beda zona. Sekecil itu batas ruang mimpi mereka. Memang sih ada kuota luar kota, tapi kuotanya sangat kecil.
“Sekarang ini tidak ada sekolah favorit, semua sekolah sama saja” bualan palsu itulah yang sekarang sedang dijual oleh para tuan dan nyonya yang duduk di lembaga pendidikan. Bagi anda yang percaya dengan bualan tersebut maka silakan anda juga percaya dengan bualan ini “Semua universitas sama saja, semua negara sama saja, semua perempuan sama saja”
Pelevelan adalah sebuah keniscayaan, dibidang apapun pasti ada pelevelan. Termasuk di institusi pendidikan. Maka jangan merasa risih bila ada sekolah yang difavoritkan oleh para siswa. Sebuah sekolah bisa difavoritkan oleh siswa dipastikan sekolah tersebut kualitas lulusannya bagus. Kualitas kelulusan bagus karena seleksi masuknya juga bagus (siswa yang masuk siswa pilihan), sistem pembelajarannya bagus, lingkungan belajarnya bagus.
Bila sekolah favorit sistem seleksinya tidak bagus akan berakibat siswa yang masuk belum tentu bisa mengikuti kecepatan sistem pembelajarannya, ibaratnya standar siswa yang masuk harus bisa berlari dengan kecepan 10 tapi karena seleksinya serampangan maka siswa yang masuk hanya berkemampuan berlari dengan kecepatan 5, otomatis sekolah tersebut kecepatannya harus mengikuti kemampuan siswa yang hanya 5. Ini kemunduran di lembaga pendidikan tersebut.
Adalah juga sebuah keniscayaan untuk mencapai level tertentu dibutuhkan ujian, hanya mereka yang lolos ujian yang bisa menduduki level tertentu. Demikian juga lembaga pendidikan, idealnya hanya mereka yang lolos ujian yang bisa masuk di sekolah tertentu.
Menurut saya dibandingkan dengan rapot, UN lebih ideal untuk dijadikan parameter kelulusan sekolah sekaligus sebagai parameter untuk proses seleksi masuk sekolah ke jenjang berikutnya. Bila acuannya rapot maka hasilnya akan bias karena tiap sekolah memiliki standar berbeda-beda dalam memberikan ujian maupun penilaian pada anak didiknya.
Ada yang berpendapat bahwa UN itupun tidak ideal karena proses belajar bertahun-tahun hanya ditentukan oleh nilai UN. Menurut saya pendapat tersebut lemah, karena bila kesehariannya siswa sudah mampu menyerap dan memahami pelajaran yang diajarkan maka mengerjakan UN pastilah bisa meskipun nilainya tidak mesti sempurna (100). Toh batas kelulusanpun tidak harus sempurna.
Misalpun hari H ujian tidak bisa mengikuti ujian disebabkan karena halangan tertentu toh masih ada ujian susulan. Kebetulan saya dulu waktu UN SMA (dulu disebut EBTANAS) tidak bisa mengikuti UN bersama teman-teman karena pada saat itu saya sakit dan harus diopname sehingga saya mengikuti UN susulan sendiri, diruangan tersendiri tidak ada teman satupun kecuali guru yang mengawasi. Alhamdulillah guru saya jujur-jujur sehingga membiarkan saya mengerjakan EBTANAS sendiri tanpa diajari.
Sampai saat ini nilai UN masih dijadikan parameter tapi sayangnya bukan parameter tunggal seperti jaman saya dulu, ada parameter lain yaitu tempat tinggal (zonasi); strata ekonomi orang tua (KIP = Kartu Indonesia Pintar = anak dari orang tua tidak mampu); profesi orang tua (anak guru).
Selain UN, iga parameter selaindiatas adalah sesuatu yang diluar kesanggupan siswa untuk merubahnya, disinilah letak ketidakadilannya. Misalpun akan ditambahkan parameter lain selain UN silakan saja asal parameter tersebut dalam jangkauan siswa untuk bisa berikhtiar, misal prestasi olahraga, prestasi sosial (aktif berorganisasi), prestasi keagamaan dan lain sebagainya.
Sistem pendidikan yang bagus harusnya bisa menstimulus siswa untuk berjuang keras, bukan memanjakan. Di sistem yang sekarang ini siswa yang punya KIP dimanjakan akan dijamin diterima disekolah manapun yang sezona meskipun nilai UN nya rendah. Bagaimana siswa yang punya KIP akan rajin belajar bila sudah ada jaminan seperti itu? “Ngapain belajar wong berapapun nilaiku akan diterima.”
Disisi lain bagi siswa yang tidak punya KIP dan sekolah impiannya diluar zonanya semangat berjuangnya pun akan surut sebab “Buat apa rajin belajar, kalau nilaiku yang bagus akan tetap tidak bisa masuk dan dikalahkan oleh siswa yang punya KIP meskipun nilainya jauh lebih rendah dari nilaiku, lebih asyik jalan-jalan, makan-makan dan belanja”
Saya sepakat mereka yang kebetulan secara ekonomi kurang mampu dibantu pemerintah dalam pembiayaan pendidikan bahkan kalau perlu sampai ke luar negeri sekalipun, tapi jangan memanjakan mereka dengan mengisitimewakan mereka dengan jaminan yang berlebihan seperti dibahas di atas, tetapi harus diberlakukan sistem seleksi yang adil.
Anak negeri yang kebetulan terlahir dari keluarga mampu juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan berhak dimerdekakan impiannya. Keadilan adalah panglima, dimanapun kita berada bila keadilan tegak maka kebahagaiaan dan kedamaian akan merasuki jiwa. Bahkan ajaran islam mengatakan keadilan itu lebih dekat kepada takwa. Derajat takwa merupakan parameter kedekatan sesorang dengan Allah Sang Maha Segalanya.
Makanya enak zaman pak harto, tidak ada batasa tempat untuk sekolah n kurikulumnya bagus lagi dari gene… https://t.co/UJ4Y7sFrm6