SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Jokowi Heran dan Presiden Rasa Raja

Jokowi Heran dan Presiden Rasa Raja

Dalam sebuah pemberitaan, Jokowi merasa heran mengapa unjuk rasa selalu mengungkit keburukan pemerintah. Mengapa tak sebaliknya, yaitu unjuk rasa yang memberi apresiasi kinerja pemerintah. Bahkan Jokowi menyebut-nyebut alotnya negosiasi dengan Freeport dan keberhasilan mengambil alih Blok Rokan.

“Ingin didemo tapi mendukung gitu lho. Mendukung agar Freeport diambil oleh pemerintah. Mahakam sudah diambil 100 persen, tapi pada diam. Padahal, saya tunggu-tunggu tapi pada diam,” ujar Presiden Jokowi saat pidato di Gor Maulana Yusuf, Serang, Banten, Sabtu (3/11).

Ungkapan Jokowi dalam pidato itu jelas menginginkan sebuah apresiasi atas jasa yang telah dilakukan. Dengan demikian kehormatan diukur dari seberapa banyak pujian yang diterima, bukan seberapa loyalitas pengabdiannya.

Raja, dihormati karena kedudukan kekuasaannya. Ia tak perlu mengabdi, bahkan rakyatnya yang harus mengabdi. Karena kehormatan diletakkan pada kedudukan, otomatis pujian (baca: apresiasi) selalu melekat ditujukan kepada “baginda” dan “yang mulia”. Perilaku raja kemudian menjadi identik sebagai meminta sanjungan.

Presiden itu pelayan rakyat, seharusnya. Kalau mau pakai paradigma demokrasi, ya kekuasaan rakyat. Apresiasi rakyat hanya dengan memilih mempekerjakan kembali di periode selanjutnya, jika memuaskan. Jika mengecewakan, ganti dengan orang lain. Sesederhana itu.

Simpulannya, “Presiden Rasa Raja”. Kalau di Indonesia. Bukan semua salah Jokowi juga, karena hampir semua pejabat merata seperti itu. Feodal.

Dalam konsep Islam, kekuasaan adalah milik Allah yang dititipkan ke penguasa di muka bumi. Oleh karenanya, wajib dipertanggungjawabkan di akhirat. Sultan sekalipun, murni pengabdian kepada Tuhan. Contoh: Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dua raja kaum Bani Israil yang seluruh hidupnya murni mengabdi padaNya.

Adapun “jasa” sebagai pemimpin yang berhasil, tidak diperkenankan menerima pujian, karena segala puji milikNya semata. Bukankah atas takdirNya semua hal terjadi?

Bahkan ada salah satu perbuatan yang dibenci olehNya, yaitu menyebut-nyebut jasa diri sendiri, termasuk sedekah sekalipun, yang kemudian menyakitkan hati si penerima manfaatkan . “Merasa berjasa” harus dihilangkan dari pikiran. Sebaliknya, “merasa bersalah” perlu dinaikkan sensitivitasnya.

Pejabat di Jepang, banyak yang tak sungkan mundur. Padahal, bukan karena unjuk rasa. Sekedar merasa gagal atas janji yang diucapkan atau karena di luar harapan, walau banyak jasa sekalipun.

Para pemimpin Jepang, ternyata menganut prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan Islam dari segi “adab” nya. Sedangkan di Indonesia, silakan nilai sendiri.

Pemimpin itu mengabdi sepenuhnya, jika ala Jepang. Kehormatan atas loyalitas lebih tinggi daripada kedudukan. Kalau Indonesia? Contoh presidennya saja.

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

27 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER