SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Inilah Penjelasan Islam Nusantara oleh Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin

Inilah Penjelasan Islam Nusantara oleh Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin

Harus diakui bahwa istilah Islam Nusantara telah menimbulkan pro dan kontra publik. Saya tergerak untuk copas dan ikut menyebarkan tulisan Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin yang dimuat di Kompas pada 29 Agustus 2015 yang berjudul Khitah Islam Nusantara, sebab saya khawatir jangan-jangan masyarakat awam yang ikut berpolemik baik pihak yang pro maupun yang kontra belum faham tentang konsep Islam Nusantara.

Maka ada baiknya kita menyimak penjelasan KH Ma’ruf Amin berikut agar ketika kita yang pro maupun yang kontra bila beropini tidak keluar dari konteks. Dan ketika ada pihak yang mengaku pro Islam Nusantara bahkan mengatasnamakan Islam Nusantara tapi perilakunya bertentangan dengan khitah Islam Nusantara maka sodorkan saja tulisan KH Ma’ruf Amin ini hehe.

Misalnya, KH ma’ruf Amin menjelaskan bahwa penanda kelima dari Islam Nusantara adalah  tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Maka misalnya kita menemui ada pihak yang mengtasnamakan Islam Nusantara tetapi tidak bisa toleran terhadap muslimah yang memakai cadar karena dianggap ke-Arab-Araban maka itu artinya dia telah menyalahgunakan istilah “Islam Nusantara”

Pihak yang mengkritisi maupun yang mendukung konsep Islam Nusantara yang dideklarasikan pada Muktamar NU 2015 di Jombang ini boleh saja saling bersilang pendapat , namun sebaiknya dilakukan dengan cara-cara yang mengedapankan akhlak islami, janganlah saling hujat dan caci maki. Mari berdemokrasi dengan cara yang sehat, mari berislam dengan berperilaku yang islami. Mari jalin persatuan dengan sesama anak negeri apalagi sesama muslim.

Sejarah mencatat, perilaku Rasulullah yang sangat santun adalah salah satu faktor penting yang mampu memikat hati para musyrikin untuk berubah haluan menjadi pemeluk islam sehingga berubah status menjadi muslimin.

Berikut tulisan lengkap Rais Aam PBNU, KH Ma’ruf Amin yang dimuat di Kompas 29 Agustus 2015

Khitah Islam Nusantara

Akhir-akhir ini Islam Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat Indonesia juga ikut memperbincangkannya. Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.

Sebagai tema Muktamar NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Islam Nusantara memang baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal baru bagi kita.

Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan yang berbeda dengan NU.

Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan dipraktikkan para Mua’sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an.

Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif, tetapi demokratis, toleran, dan moderat.

Tiga Pilar

Pada dasarnya ada tiga pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).

Pilar pertama, pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul fikih, menyatakan jika ”al-jumûd ‘alã al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama. Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir di kalangan NU.

Pilar kedua adalah gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jamaah (warga) yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang baik saja (al-akhdh bi al-jadid al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.

Pilar ketiga adalah amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ’urf atau ‘ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri NU kepada kita semua.

Penanda Islam Nusantara

Ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para Nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.

Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.

Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, Nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.

Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.

Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.

Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.

Ijtihad

Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.

Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan Nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai Nahdliyin di sini misalnya adalah maãlahah (kebaikan).

Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nass fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.

Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

KH Ma’ruf Amin 

Rais Aam 
Nahdlatul Ulama

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER