Semenjak keberhasilan Muḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī pada abad ke-8 menyederhanakan bilangan dalam satu kata Aljabar, kemudian disusul penemuan kode biner oleh Gottfried Wilhelm Leibniz pada abad ke-17, seiring berputarnya ruang waktu dan berjalannya takdir, hingga di jaman now hadirlah telepon genggam pintar yang menghadirkan kemudahan dengan segala pernak-perniknya (baca: konsekuensinya).
Hari-hari ini kita melihat fenomena yang bahkan tidak terjadi pada 10 tahun yang lalu. Ketika telah lahir generasi hp pintar (smartphone) yang diiringi dengan lahirnya berbagai sosial media. Mulai dari facebook, Twitter, instagram, path, dan lain-lain. Adanya smartphone memudahkan orang menjalin komunikasi. Kemudian menjalin interaksi sehingga berdampak pada berbagai dimensi. Jejaring sosial juga mempermudah orang jika ingin berbagi baik ilmu bahkan jika ingin berdonasi membantu sesama.
Akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda, dunia maya dengan sosial media, menurut saya pribadi, sudah nyaris sama dengan dunia nyata dalam hal berinteraksi. Kalau dulu, saya pernah mendengar pernyataan yang kurang lebih isinya begini: bagaimana seseorang di dunia nyata akan terrepresentasi di dunia maya. Tapi sekarang, menurut saya, pernyataan itu sudah terbalik. Disebabkan oleh keniscayaan bahwa semua orang memiliki status dan kedudukan yang sama di dunia maya, dunia maya akan mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap di dunia nyata.
Disebabkan pula oleh dunia maya yang tanpa batas, seseorang akan sangat mudah menularkan atau tertular pemikiran bahkan perilaku orang lain. Efek sosial yang timbul dari kehidupan maya ini berkembang liar secepat bakteri mereplika diri. Sayangnya tidak diimbangi dengan “pertahanan diri” yang baik.
Diakui atau tidak, pesta demokrasi tahun 2014 lalu praktis telah membelah anak bangsa ini menjadi dua bagian yang hampir setiap hari berkonfrontasi. Hal ini bisa disaksikan di jejaring sosial seperti Twitter dan facebook. Berbeda pendapat sedikit saja, bisa langsung ramai jagat maya. Apalagi perbedaan prinsip yang besar, tambah ramai luar biasa. Dan hampir semua orang melakukan hal yang sama, di kedua belah pihak. Bahkan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan.
Ada kesamaan dari kedua belah pihak atau kubu. Yaitu cara. Cara berkomunikasi yang saling menyakiti. Sama-sama senang bila yang dianggap kubu lawan berada di posisi terpojokkan. Kita bisa melihat pada status-status yang ditulis dengan bahasa yang memojokkan, pedas, dan keras lagi menyakitan. Bahkan kondisi ini juga telah melahirkan portal-portal berita yang menggunakan judul bombastis dan provokatif yang justru menciptakan jarak permusuhan itu semakin tajam. Tidakkah kita berfikir bahwa kita sesama anak bangsa seharusnya bersinergi membangun negeri?
Dapat dipahami dan dimaklumi, bagaimana perasaan masing-masing kubu terhadap kubu ‘lawan’nya. Gemes tiada tara. Capek hati mbilangi, tapi tak kunjung mengerti. Sehingga kita merasa pantas untuk menghancurkan ‘lawan’ kita. Kita jadi sangat gemar pada berita dengan judul-judul yang menyakitkan ‘lawan’. Meskipun diakui atau tidak, hal itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Dan sekali lagi, kita sama-sama putra bangsa.
Tidak dapat dipungkiri juga, fakta adanya pelecehan dan penghinaan atas Islam dan muslim tidaklah sedikit. Ada bejibun. Bahkan seakan-akan disengaja seperti memberi makan pada ikan di kolam. Kondisi ini telah melahirkan luka yang dalam bagi muslim. Dan sayang sekali lagi, hal ini kemudian melahirkan perilaku yang destruktif. Membuat muslim yang mencintai agamanya ini, menjadi salah mengambil sikap. Yang kemudian malah perang dengan saudaranya sesama muslim. Menyedihkan sekali.
Perih memang, sesama anak bangsa bertengkar dan saling cakar. Sementara di ujung sana yang bertepuk tangan sambil ongkang-ongkang kaki berjemur di tepi pantai.
Lebih jauh lagi, luasnya kehidupan maya telah memberi kesempatan pada sesorang untuk menyampaikan apapun yang berada dalam pikirannya termasuk meluapkan amarahnya. Setiap orang menginginkan eksistensi, ingin pendapatnya didengar dan dilaksanakan. Hal ini yang kemudian membawa dampak sulitnya mencapai kesepakatan walaupun memiliki tujuan yang sama. Sebab kita jadi merasa pintar dan benar. Lupa adanya kepercayaan dan mempercayakan. Dan juga lupa pada proses yang pastinya berjalan bergandengan dengan kesabaran.
Percayalah kawan. Hidup ini tidak sebatas apa yang kita lihat. Banyak hal yang tidak secara kasat mata nampak di muka kita. Ada Allah yang mengatur kehidupan ini. Semuanya diatur dengan baik. Semuanya tepat pada posisi dan komposisinya. Dan pernahkah kita menyadari, bahwa diri kita ini adalah bagian dari subsistem yang teramat kecil dari sebuah sistem yang begitu holistik dan komprehensif di antara ruang dan waktu yang bernama takdir dan kehidupan?
Sebagaimana dalam al Quran Surat Yusuf ayat 53 telah dijelaskan bahwa manusia memang punya kecenderungan untuk berbuat destruktif, mengusik, menjatuhkan, mengurusi yang tak pantas diurusi, tapi justru melalaikan yang harus diurusi. Akan tetapi, kita punya pilihan untuk menjadi sebaliknya. Kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang konstruktif dan penuh kebermanfaatan dengan sikap yang tepat ketika bersosial media. Tidak menyakiti orang lain dengan kata-kata kita. Tidak mempertajam permusuhan dengan status-status kita. Dan tidak memaksakan kehendak apabila berbeda saat berjamaah dengan tujuan yang sama. Tidak perlu menjadi sailormoon apalagi superman. Sebab, hal besar adalah kumpulan hal-hal kecil.