Empat tahun belakangan ini di kehidupan nyata kita jumpai kenyataan bahwa harga-harga kebutuhan hidup terus mengalami kenaikan. Listrik naik, BBM naik, daging mahal, cabe mahal, beras mahal, telur mahal, apa-apa mahal, sembako mahal. Namun di sisi lain justru dikabarkan banyak pabrik mengurangi jumlah karyawannya. Dikabarkan juga banyak perusahaan gulung tikar alias tutup alias bangkrut. Keadaan yang justru membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan kontradiksi dengan harga-harga yang makin melangit.
Hidup terasa semakin susah, nafas terasa semakin sesak. Namun Badan Pusat Statistik (BPS) malah mengatakan bahwa ini kali pertama Indonesia mendapatkan tingkat angka kemiskinan satu digit. Senin (16/7) pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia 9,82 persen atau 25,95 juta orang.
Bagaimana penjelasan BPS?
Kepala BPS, Suhariyanto, menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan hasil survei pada bulan Maret 2018. Berdasarkan survei terbaru itu, angka kemiskinan turun dari 10,12 persen atau 26,58 juta jiwa pada September tahun 2017.
Penyebabnya adalah selama September 2017 hingga Maret 2018 tingkat inflasi 1,92 persen; rata- rata pengeluaran per kapita per bulan rumah tangga 40 persen lapisan terbawah tumbuh 3,06 persen; bantuan sosial pemerintah triwulan pertama tumbuh 87,6 persen, dibanding triwulan pertama 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen; serta program beras sejahtera dan bantuan pangan nontunai triwulan pertama tepat jadwal.
Dijelaskan oleh Suhariyanto bahwa BPS mengukur kemiskinan sejak 1988, tapi waktu itu cuma tiga tahun sekali. Ketika terjadi krisis ekonomi, BPS menyempurnakan metodologinya. Sehingga sejak tahun 1998 sampai sekarang, ini merupakan yang terendah. Pada tahun 1999 angka kemiskinan masih 23,43 persen, sekitar 47,97 juta orang. Itu yang paling tinggi. Sejak itu, trennya turun terus, kecuali pada 2006, penduduk miskin sempat naik 4,5 juta akibat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan kali ini adalah pencairan bantuan sosial. Realisasi distribusi bantuan sosial program beras sejahtera (rastra) 2018 pada Januari sebesar 99,65 persen, Februari 99,66 persen, dan Maret 99,62 persen. Jauh lebih bagus dibanding pada triwulan pertama 2017.
Lalu, Bagaimana BPS menghitung angka kemiskinan?
“Kami mengacu pada petunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan metode basic needs approach atau konsep kebutuhan dasar. Intinya, kami mendatangi 300 ribu rumah tangga dan menanyakan pengeluaran, dari beras, minyak, rokok, obat, listrik, hingga sewa rumah. Idealnya adalah menanyakan pendapatan. Tapi, di negara mana pun, susah memperoleh data pendapatan karena orang cenderung segan. Dengan asumsi pengeluaran sama dengan pendapatan, dari situ kami mendapatkan angka pendapatan. Lalu kami pilah- pilah komoditasnya menjadi makanan dan nonmakanan untuk mendapatkan garis kemiskinan. Saat ini, garis kemiskinan sekitar Rp 401 ribu per kapita per bulan. Gampangnya: pengeluaran Rp 400 ribu ke bawah miskin, di atas Rp 402 ribu tidak miskin.” kata Suhariyanto
Jadi pengeluaran penduduk miskin hanya Rp 13 ribu per hari?
“Ini yang orang suka keliru.Uang Rp 401 ribu dibagi 30, jadi sekitar Rp 13 ribu per hari, mana cukup? Bukan begitu. Rata-rata jumlah anggota dalam satu rumah tangga miskin di Indonesia adalah 4,6 orang. Artinya pengeluaran per keluarga adalah Rp 1,84 juta per bulan. Di DKI Jakarta, dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 5,2 orang, pengeluarannya Rp 3.081.000 per bulan. Tidak jauh dari upah minimum provinsi, Rp 3,6 juta.” sambungnya.
“Angka 9,82 persen itu kan rata-rata Indonesia. Melihat per provinsi, jomplang tinggi sekali. Angka kemiskinan DKI Jakarta hanya 3,57 persen, tapi di Papua mencapai 27,74 persen. Itu persoalan. Kita mau konsentrasi ke timur atau upaya disebarkan ke semua daerah. Ada juga masalah yang belum terpecahkan, yaitu selisih angka kemiskinan antara kota dan desa. Di kota 7 persen, desa 13 persen. Sebanyak 49 persen penduduk miskin berada di sektor pertanian. Seharusnya perhatian lebih diberikan kepada petani. Upah buruh tani memang naik, tapi tipis sekali, tidak mampu mengkompensasi inflasi, sehingga daya beli mereka turun. Jadi penurunan angka kemiskinan memang pencapaian bagus, tapi pekerjaan rumah kita masih besar.” Jelas Suhariyanto.
Bikin angka mah bisa sambil tiduran