WARGASERUJI – Saat terbongkar karena laporan masyarakat, berita kasus pesta seks tersebut muncul di salah satu media daring nasional di Indonesia. Berita pertama hanya terkait tertangkapnya pelaku. Namun, berita kedua mulai mengorek pribadi sang pelaku sebagai guru, padahal sudah bukan guru. Mengapa begitu?
Pesta seks itu dilakukan di Villa Salsa Genengsari Pasuruan. Polisi mengamankan Agus dan enam orang lainnya.
“Tujuh orang kami amankan di daerah Tretes. Jadi tujuh orang tersebut kami amankan melakukan pesta seks dalam satu ruangan,” kata Kanit 5 Subdit 3 Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim AKP Mohammad Aldy Sulaiman saat rilis di Mapolda Jatim Jalan Ahmad Yani Surabaya, Kamis (18/7).
Agus menjadi penyelenggara pesta seks sehingga dijadikan tersangka, sedang enam yang lain menjadi saksi. Agus inilah yang menjadi fokus berita dan disebut sebagi seorang guru. Padahal, dalam badan berita sudah bukan guru lagi.
“Tersangka ini mengaku dulunya dia guru di salah satu sekolah di Surabaya. Tersangka mengaku beberapa bulan lalu sudah resign,” kata Aldy.
Jelas bahwa tersangka sudah bukan guru, namun judul berita tetap mencantumkan sebagai guru. Berarti, judul berita akan menyesatkan bila hanya membaca judulnya saja.
Mungkin tidak masalah secara jurnalistik. Namun, melihat perilaku kebanyakan warganet yang malas baca, kemungkinan salah informasi hanya karena baca judul sangatlah besar.
Kata-kata “guru” muncul agar judul berita menarik pembaca. Ada makna kontras, guru yang seharusnya mendidik ternyata menjadi penyelenggara pesta seks. Namun, memaksakan judul agar menarik ternyata memberi kesempatan orang salah menyimpulkan.
Jadi, mulai saat ini janganlah menyimpulkan berita hanya dari judulnya saja. Baca hingga selesai.
Sedangkan bagi lembaga pers dihimbau agar membuat judul yang lebih tepat bukan hanya sekedar agar menarik banyak pengunjung di situsnya. Berita kasus pesta seks inilah contoh yang nyata, seharusnya ditulis mantan guru namun agar menarik hanya dicantumkan kata “guru”.