SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Demokrasi Tidak Kompatibel dengan Islam

Demokrasi Tidak Kompatibel dengan Islam

WARGASERUJI – Belum lama ini terjadi kembali pembubaran Diskusi Mahasiswa Islam yang dilakukan pihak kampus. Dialog Intelektual Mahasiswa dengan tema: “Malapetaka Runtuhnya Khilafah” menjadikan pihak kampus resah. Hingga akhirnya Rektor UIN-SU langsung turun tangan meminta acara diskusi diakhiri, dengan alasan bahwa ide Khilafah haram di negeri ini. (Dakwahsumut.com,Medan(8/3).

Peristiwa tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa di dalam demokrasi bicara ajaran Islam hukumnya haram. Menjadi bukti yang jelas bahwa demokrasi tidak kompatibel bagi ajaran Islam. Barat berhasil dalam mempropagandakan konsep Demokrasi sebagai konsep sistem pemerintahan. Hingga mampu menyeret kaum Muslimi untuk masuk dalam gelombang isu demokrasi.

Disisi lain, demokrasi yang notabene menjamin kebebasan berpendapat bagi individu, justru dalam penerapannya ‘membungkam’ kaum muslimin menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam. Namun sayangnya, masih ada sebagian kaum muslimin yang meyakini bahwa demokrasi dapat menjadi jalan perubahan ke arah Islam.

Ilusi Demokrasi Menjamin Perubahan ke arah Islam

Mereka yang memilih jalan demokrasi sebagai jalan untuk menuju perubahan meyakini bahwa jika menang dalam proses demokrasi, yakni seperti Pemilu legislatif atau Pilpres, mereka akan bisa melakukan perubahan secara mudah, termasuk untuk menerapkan syariah Islam. Alasannya, karena mereka menang dengan suara terbanyak sehingga pemerintahan mereka didukung oleh rakyat secara mayoritas.

Ini jelas konsep berpikir yang keliru. Pasalnya, masyarakat yang memilih mereka bukan karena kesadaran politik mereka terhadap syariah Islam. Keinginan parpol Islam untuk mengubah sistem sekular itu menjadi sistem Islam akan mendapat tantangan dari rakyat sendiri yang belum sadar. Bisa-bisa mereka menganggap wakil rakyat itu telah berkhianat kepada mereka sebab telah menyalahgunakan suara yang mereka berikan untuk perkara lain.

Sebagian orang juga beranggapan, bahwa jika sistem perundang-undangan diubah—misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, yaitu pemenang Pemilu, selain berhak membentuk pemerintahan, juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan—maka perjuangan untuk menerapkan syariah Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Ini tampaknya logis. Namun faktanya, pemerintahan sekular yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentoleransi keberhasilan sebuah partai Islam dalam Pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, Hamas di Palestina, termasuk yang baru terjadi di Mesir sampai hari ini, membuktikan hal itu.

Peristiwa yang menimpa HAMAS di Palestina, FIS di Aljazair dan Ikhwanul Muslimin di Mesir merupakan pelajaran berharga kepada kita bahwa walaupun terpilih secara demokratis dan legal, hal tersebut ternyata tidak memberikan jaminan keamanan bagi perjuangan untuk mewujudkan perubahan. Pasalnya, Barat hanya akan memberikan jaminan keamanan jika kelompok yang menggunakan demokrasi tersebut tidak membawa Islam pada kekuasaan.

Untuk membantah mitos tersebut, kita cukup mengetengahkan pertanyaan: dimana PBB dan Amerika sebagai negara kampium demokrasi saat terjadi pembantaian di Mesir oleh junta militer terhadap Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya? Di mana pula Barat dan PBB saat pembantaian terjadi di Aljazair terhadap FIS dan pendukungnya? Bukankah mereka adalah partai yang meraih kekuasaan melalui Pemilu yang demokratis?

Demokrasi hanyalah sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan agar bisa menerapkan syariah Islam. Namun, tujuan tersebut disembunyikan dengan cara tidak menyampaikan di panggung-panggung kampanye ataupun tidak dimasukan ke dalam visi ataupun misi dari gerakan tersebut. Alasannya, jika masyarakat tahu itu, mereka tentu tidak akan memilih karena masih menginginkan sistem sekular sekarang.

Padahal sangat penting dan suatu keharusan untuk memberikan edukasi politik di tengah-tengah masyarakat tentang Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan yang akan memberikan solusi atas seluruh persoalan yang mendera umat manusia. Dengan adanya edukasi politik tersebut, tentu masyarakat akan menjadi sadar sehingga membentuk kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat (wa’yul ‘am). Kemudian dari kesadaran umum tersebut akan menjadikan masyarakat secara kolektif menjadi memiliki opini umum (ra’yul ‘am) yang benar akan syariah Islam.

Dengan adanya kesadaran dan pemahaman masyarakat yang baik tersebut maka akan mudah untuk menerapkan syariah Islam. Ini berbeda jika kita menyembunyikan tujuan perjuangan tersebut. Bagaimana mungkin masyarakat akan sadar dan paham jika tidak pernah diberikan edukasi yang baik terhadap apa itu syariah Islam sebagai sebuah solusi.

Masuknya seseorang atau partai ke dalam sistem demokrasi dengan niat ingin mewarnai, secara fakta tidak ada bukti sama sekali. Sebaliknya, anggota parpol yang masuk ke dalam sistem yang ada justru sering terjebak di dalamnya. Mereka, misalnya, terlibat dalam money politic. Mereka sering bungkam terhadap kezaliman penguasa dengan alasan koalisi dengan partai penguasa atau untuk kepentingan kompromi. Mereka pun kemudian sering membuat pernyataan yang berubah-ubah dan membingungkan umat, mengingat kompromi yang sudah dilakukan dengan partai-partai sekuler.

Demikianlah, yang tadinya berniat ingin mewarnai malah terwarnai; yang tadinya ingin memberikan pengaruh malah terpengaruh. Ini merupakan jebakan demokrasi itu sendiri. Sayang, banyak kaum Muslim yang terjebak ke dalam permainan demokrasi tersebut.

Dengan menggunakan jalan demokrasi, mereka pun berhasrat mengubah sistem secara bertahap (tadaruj). Bagaimana mungkin bisa melakukan perubahan secara bertahap sedangkan demokrasi tidak memberikan jalan untuk itu? Demokrasi memang memberikan tempat bagi kelompok yang menyuarakan syariah Islam, namun tidak memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan. Hal ini karena demokrasi telah menetapkan dengan tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur masalah publik.

Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulat rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal. Jadi, di dalam demokrasi, hukum yang dibuat untuk mengurusi rakyat adalah bersumber dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas; akal yang tidak bisa mengetahui apa kebutuhan manusia yang lain. Sebaliknya, di dalam Islam, sumber hukum untuk mengatur persoalan setiap sendi kehidupan manusia berasal dari Zat Yang menciptakan akal manusia itu sendiri. Dialah Allah SWT, Zat Yang Mahatahu apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT telah menurunkan syariah Islam untuk mengatur semua persoalan tersebut (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).

Masihkah kita percaya pada demokrasi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih perubahan? Tidak! Hanya sistem Islam saja yang dapat mengantarkan kita menuju perubahan yang kita cita-citakan, yakni perubahan menuju tegaknya Islam kaffah dalam sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Oleh : Rindyanti Septiana S.Hi ( Penggiat Literasi Islam & Kajian Islam Politik Medan)

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER