BATAM – Seorang remaja laki-laki bernama Bowo Alpenliebe mendadak viral dan berhasil menyedot perhatian para remaja dan anak-anak, khususnya remaja wanita melalui aplikasi tik tok.
Aplikasi yang berasal dari China ini tak hanya berhasil membuat remaja berusia 13 tahun tersebut viral, namun juga memunculkan banyak penggemar, salah satunya adalah fenomena ‘Fans Fanatik’.
Berbagai bentuk kekaguman pada sosok remaja SMP ini terpampang jelas di berbagai isi status para remaja wanita di sosial media, mulai dari memuji ketampanan sang idola, hingga penyematan status tuhan padanya sampai kepada kerelaan para fans fanatik ini untuk melepas keperawanan dan bahkan menjual ginjal demi bertemu sang pujaan hati. Sungguh miris bukan?
Pakar Psikologi Sosial dan kesehatan masyarakat, Agus Poerwanto, S.Psi,M.Kes menjelaskan bahwa fenomena kekaguman kepada seorang idola itu adalah hal yang wajar, namun menjadi hal yang tidak wajar apabila disertai dengan obsesi.
“Menurut saya pribadi fenomena tiktok itu normal cuma jika terlalu berlebihan menjadi tidak sehat dan berpotensi merusak kesehatan mental. Sampai rela jual ginjal, rela hilang keperawanan, itu semua sudah diluar akal sehat,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kaca mata agama, mengagumi kepada sesuatu yg tidak mendekatkan diri kepada Allah adalah sangat dilarang.
“Jangankan kagum kepada orang yg tidak memiliki value dalam agama, kagum terhadap tokoh agama saja jika berlebihan juga akan berpotensi mengkultuskan, dan ini jelas dilarang. Apalagi kagum terhadap orang yg hebat hanya dalam keduniawian,” paparnya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya ini menjelaskan bahwa dalam kaca mata psikologi kagum dan mengidolakan itu adalah hal yang normal, akan tetapi fenomena tik tok khususnya bowo, itu sudah masuk ke dalam sebuah obsesi.
“Obsesi bisa melumpuhkan kita. Kadang-kadang ia mendorong kita berperilaku kompulsif seperti berkali-kali mengecek email atau media sosial. Kita kehilangan kendali dengan diri kita, perasaan kita, dan kemampuan kita untuk berpikir logis dan menyelesaikan masalah. Sehingga bagi orang normal mereka yg seperti contoh diatas jelas tidak sehat secara mental.”
Menanggapi hal tersebut, dosen yang dikenal sangat dekat dengan para mahasiswanya ini menghimbau agar para orang tua melakukan pengawasan dan bimbingan yang baik untuk anak-anaknya, karena menurutnya, semua fenomena tersebut kembali lagi kepada bagaimana orang tua menyikapi.
“Keluargalah yg menjadi kekuatan anak dan remaja untuk membentengi dari hal hal yg sangat tidak normatif baik dari sisi agama ataupun norma2 lainnya. Karakter anak tumbuh pertama kali lewat orang tua dan keluarga. Jika anak tidak mendapatkan, maka akan mencari sendiri sosok idola dan teladan di lingkungan bebas, yang termasuk di dalamnya sosial media,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa untuk para orang tua agar tidak menyalahkan anak-anaknya jika terindikasi terjangkiti virus ‘fans fanatik’ ini, namun harus pandai mengoreksi diri.
“Saran saya jangan salahkan tindakan mereka tetapi mari bertanya apa yg sudah kita berikan untu anak anak dan remaja kita. Jika kita tidak bisa menanamkan karakter, maka orang lain yg akan menanamkannya,” imbuhnya. (HA)