Mengenang perjuangan kemerdekaan yang perayaannya dilakukan kemarin (17-08-2018), sebuah kisah unik tentang perlawanan simbolis pernah penulis dengar dari (alm) kakek tentang kelakuan eksentrik seorang pribumi kaya di jaman pemerintahan Hindia Belanda. Tasripin, nama pribumi di abad ke-19 itu adalah seorang tuan tanah kaya raya dari hasil usaha kopra, kapuk, pengolahan kulit dan juga real estate.
Muncul perilaku eksentrik-nya sebagai ungkapan dari “jiwa nasionalis” anti penjajahannya. Ia berniat untuk memasang koin emas Belanda pada lantai rumah gedongannya. Sebagai orang kaya tentu ia bisa melakukan apa saja, tapi permasalahannya koin emas yang dipasang tersebut bergambar Ratu Wilhelmina yang menjadi simbol negara Belanda.
Pejabat Belanda yang diundang ke rumah Sang Konglomerat sontak terkejut dan marah melihat koin-koin itu dipasang di lantai rumah Tasripin. Mereka pun meminta Tasripin mencopoti koin-koin itu agar tidak menjadi alas kaki orang-orang yang datang di rumah Sang Konglomerat pribumi. Kemudian Tasripin berjanji mencopot koin-koin tersebut dan menyuruh si pejabat Belanda datang lagi beberapa hari kemudian.
Dasar bandel, Tasripin memasang koin Belanda dalam posisi miring agar gambar Ratu Wilhelmina tidak nampak saat terinjak-injak oleh kaki. Meskipun memang tidak ada aturan yang melarangnya, ulah Tasripin yang cerdik itu sontak membuat marah pejabat Belanda. Namun Tasripin beralasan bahwa Jika uang terpasang miring, maka gambar Ratu Wilhelmina tidak akan terinjak. Sebagai seorang pengusaha di masa penjajahan yang mau tak mau harus bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda, Tasripin telah menunjukkan sikap anti penjajahan dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Penulis di depan patung Ratu Juliana di Gedung Parlemen Belanda, dimana terdapat pula ruangan “Menteri Urusan Negara Jajahan“ (Foto: Nico Andrianto)
Beberapa dekade pasca peristiwa Tasripin tersebut, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun kemudian Belanda membonceng AFNE (Allied Forces Netherlands East Indies) dengan pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) melalui program Rehabilitation Allied Prosoners of Wars and Internees berupaya merebut kembali tanah Indonesia/Hindia Belanda.
Kedatangan Inggris dan Belanda itu mencetuskan resolusi jihad Nahdatul Ulama 22 Oktober 1945 yang mewajibkan seluruh rakyat melawan penjajah Belanda dalam radius keliling 94 kilometer. Kewajiban religius itu berhasil menggelorakan perlawanan rakyat yang marah dan kemudian berupaya merobek warna biru bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato, Surabaya.
Adalah kebanyakan rakyat jelata dan para pejuang yang menginginkan berkibarnya Sang Dwi Warna rela ditembak oleh orang-orang Belanda. Peristiwa perobekan bendera Belanda yang memakan banyak korban tersebut turut disaksikan alm. kakek penulis yang saat itu menjadi tentara Heiho penjaga hotel Yamato (sebelum bergabung dengan para pejuang kemerdekaan).
Peristiwa serupa terjadi di Belanda pada bulan November 2013. Pada saat mengunjungi sebuah instansi pemerintah Belanda di Kota Utrech dimana penulis menjadi salah satu peserta, terjadi pemindahkan tissue berwarna biru dari atas meja, hingga menjadi merah dan putih. “Peristiwa heroik” tersebut bisa dikatakan merupakan perlawanan simbolis anti penjajahan jaman now. 🙂