Pembatalan perkawinan adalah suatu perbuatan hukum untuk menyatakan tidak sahnya suatu perkawinan melalui proses putusan pengadilan, dengan adanya pembatalan perkawinan berarti perkawinan tersebut tidak pernah ada dan para pihak dianggap belum pernah melangsungkan perkawinan. Pasal 22 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) mengatur bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini tentu menjadi berbeda dengan perceraian, dimana perceraian dilakukan untuk pemutusan perkawinan dengan tetap mencatat pernah adanya perkawinan, dan alasan perceraian juga dibatasi melalui Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pihak Yang Dapat Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 23 UUP pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri (contoh: orangtua)
- Suami atau isteri (contoh: istri dari mempelai pria)
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
- Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Alasan Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan harus dilandaskan atas alasan – alasan yang nantinya harus dibuktikan di muka pengadilan. Adapun hukum Indonesia telah mengatur alasan pengajuan pembatalan perkawinan diantaranya sebagai berikut:
- Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri (Pasal 26 UUP);
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 UUP);
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Prosedur Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan harus dilakukan melalui putusan pengadilan, adapun permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pada dasarnya tata cara pengajuan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan perceraian, dimana para pihak tetap menjalani proses pemeriksaan oleh pengadilan. Apabila keputusan pengadilan tersebut telah mempunyai hukum tetap, maka Panitera pengadilan akan menyampaikan keputusan tersebut kepada Pegawai Pencatat Perkawinan untuk kemudian segera dicatatkan. Jika pembatalan perkawinan diajukan di Pengadilan Agama, maka Panitera pengadilan berkewajiban untuk meminta pengukuhkan putusan oleh Panitera pengadilan umum selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap. Pengadilan umum kemudian berkewajiban untuk mengembalikan putusan tersebut selambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterima putusan tersebut, dengan menyebut “dikukuhkan” serta dengan dicap dan ditandatangi oleh Hakim.
Akibat Pembatalan Perkawinan
Dengan adana putusan Pengadilan terhadap pembatalan perkawinan, maka berakibat batalnya perkawinan. Pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut hingga perkawinan dilangsungkan. Artinya dengan adanya putusan pengadilan tersebut, perkawinan yang telah dilangsungkan dianggap tidak pernah ada dan tidak memberikan akibat hukum seperti perceraian. Namun berdasarkan Pasal 28 UUP, keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
- Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
- Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian negara memberikan jaminan hukum kepada anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tersebut. Sebagai contoh Tuan Bambang menikah dengan Nyonya Yanti pada Juli 2017, pada bulan Agustus Nyonya Yanti baru mengetahui bahwa Tuan Bambang masih terikat perkawinan dengan Nyonya Ani. Merasa tertipu dan tidak terima, Nyonya Yanti mengajukan pembatalan perkawinan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai dengan domisilinya dan Tuan Bambang. Pada bulan September Nyonya Yanti baru menyadari bahwa ia telah mengandung hasil dari perkawinannya dengan Tuan Bambang. Meski nantinya Pengadilan Negeri memutuskan pembatalan perkawinan antara Tuan Bambang dan Nyonya Yanti, hal tersebut tidak menghapus kewajiban dan hak Tuan Bambang serta Nyonya Yanti sebagai orang tua atas anak tersebut. Anak tersebut juga tetap berhak mendapatkan warisan dan hak keperdataan lainnya.