BATAM – ‘Tidak ada satupun manusia yang mau disalahkan atas apapun yang ia lakukan atau perbuat’. Mungkin kalimat tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana setiap orang selalu mencari pembenaran diri ketika ia dalam keadaan terpojok.
“Itu bukan urusan saya”, “kalau cabe mahal, bisa tanam sendiri”, “sembako mahal, ya diet aja”, atau kata-kata seperti “kalau daging mahal, bisa beralih ke keong sawah”. Mungkin kira-kira contoh gambaran umum bagaimana seseorang atau mungkin seorang publik figure atau bahkan seorang pemimpin berbicara, mencari pembenaran, mengumbar segala alasan agar tidak dicap salah.
Tak hanya contoh di atas, tetapi begitu banyak ucapan-ucapan alasan yang sering terlontar dari mulut ke mulut ketika terbukti bersalah, untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah, alias mencari pembenaran diri.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Ternyata alasan-alasan dan berbagai bentuk pembenaran diri ketika seseorang bersalah adalah suatu bentuk mekanisme pertahanan diri untuk keluar dari perasaan bersalah, kecemasan dan depresi.
Menurut Sigmund Freud dalam teori psikologi, mekanisme pertahanan diri adalah suatu cara atau proses a-sadar yang melindungi seseorang dari rasa bersalah, depresi melalui pemutarbalikan kenyataan.
Freud membagi mekanisme pertahanan diri menjadi 7 macam, yakni :
1. Represi, yaitu mekanisme dimana seseorang menekan pikiran-pikiran yang tidak sesuai atau hal yang menyedihkan untuk keluar dari alam sadar ke alam bawah sadar. Contoh: seseorang yang melihat saudaranya meninggal akibat sebuah insiden kecelakaan, kemudian ia lupa dengan kejadian tersebut. Umumnya secara neurologis hal ini disebut sebagai amnesia.
2. Subliminasi, yaitu suatu kehendak yang seharusnya tidak dapat diterima, namun dapat disalurkan menjadi hal-hal yang bernilai sosial. Contoh : seseorang yang tidak suka berkelahi, namun kemudian ia menjadi atlet karate.
3. Proyeksi, yakni suatu mekanisme pertahanan diri seseorang dalam melindungi dirinya dari tabiat-tabiat buruknya dengan menyalahkan orang lain. Contoh : seorang mahasiswa yang mendapat nilai E dalam suatu mata kuliah, kemudian mengatakan bahwa sang dosen sentimen padanya.
4. Displacement atau pengelakan, yaitu suatu mekanisme penyaluran atau luapan emosional kepada objek lain. Contoh: seseorang yang dimarahi oleh atasannya di kantor, kemudian luapan emosi yang tertahan itu disalurkan oleh istrinya di rumah.
5. Rasionalisasi, yakni suatu upaya yang dilakukan seseorang dengan cara-cara yang logis untuk membuktikan bahwa ia benar dan dapat diterima baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Contoh: seseorang yang berselingkuh, kemudian mengemukakan alasan-alasan logis yang dapat dibenarkan bahwa wajar bila ia berselingkuh karena pasangannya kurang mengerti dirinya, kurang mendukung dirinya, dll.
6. Pembentukan reaksi, yaitu suatu reaksi untuk mencegah keinginan yang berbahaya dengan cara melebih-lebihkan sikap-sikap yang berlawanan. Contoh: seseorang yang bersikap hormat yang berlebihan kepada bosnya di kantor, padahal ia sangat membencinya.
7. Dan terakhir adalah mekanisme pertahanan diri berupa Regresi, yaitu suatu keadaan seseorang dimana ia kembali ke keadaan awal masa perkembangan yang kurang matang. Contoh: seseorang yang sudah dewasa dan tidak mengompol mendadak menjadi mengompol akibat takut atau cemas akan sesuatu.
Lantas bagaimana agar menjadi orang yang tidak mencari pembenaran diri?
#to be continue 😉