SCROLL KE ATAS UNTUK MEMBACA

Keliru

Keliru

Tulisan ini adalah tanggapan dari Prof. Suteki Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro terhadap keputusan oleh pengadilan negeri dalam perkara pembakaran bendera tauhid di Garut.

Prof. Suteki menjadi salah satu saksi ahli dalam sidang gugatan HTI di Mahkamah Konstitusi yang saat ini masih belum berkeputusan final.

Dampak kesaksiannya, menyebabkan sanksi yang dipaksakan dari institusinya, Saat ini rajin membuat tulisan yang tidak saja masalah hukum akan tetapi juga dari pengajian rutin yang diselenggarakan oleh masjid dilingkungan tempat tinggalnya.

Pendapat hukum dari keputusan PN Garut menjadi kegundahan yang ditulis dalam group yang penulis ikuti dan dalam paparannya ditulis dengan judul Keliru seperti dibawah ini.

Inilah yang akan terjadi bila literasi kita amat rendah sehingga yang dipahami hanya sebatas apa yang dilihat, empiric reality yang seringkali disebut sebagai naive reality. Tidak salah memang, karena seringkali realitas juga “mengada” apa adanya.

Namun, sebagai seorang hakim seharusnya paham betul bahwa UU Kekuasaan Kehakiman pun telah memberikan ruang bagi hakim untuk tidak sekedar memutus perkara, tetapi ‘Menyelesaikan perkara’.

Memutus perkara cenderung hanya menggunakan teks tertulis dan menyuarakan bak istilah Perancis: ‘ La Bouche de la loi’, sedangkan menyelesaikan perkara berarti hakim berusaha sekuat mungkin menyelami ‘Rasa Keadilan’ dalam masyarakat.

Tengah terjadi gejolak apa, dan rasa keadilan manakah yang terusik oleh suatu dakwaan telah terjadi suatu delik. Ketika rasa keadilan dalam masyarakat turut disertakan dalam proses menyelesaikan perkara diharapkan pengadilan mampu menjadi institusi keadilan yang oleh William T Pizzi disebut: ‘Trial with truth’ bukan ‘Trial without truth’.

Jadi pengadilan bukanlah ajang gladiator untuk sekedar mencari ‘The winner’ and ‘The Looser’, tetapi ‘justice’ and ‘truth’.

Pengadilan mesti diusahakan untuk terus mampu ‘Bringing justice to the people’.

Kasus pembakaran bendera bertuliskan tauhid terbukti menciderai “perasaan” umat Islam terbukti munculnya gelombang aksi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Apakah perbuatan konkrit seperti ini pun tak mampu tertangkap oleh penegak hukum sehingga mampu memastikan bahwa tindakan membakar bendera tauhid dgn sengaja dan penuh kebencian itu bukan ‘Tindak pidana ringan(Tipiring) melainkan ‘Penistaan Agama?’, Kalau yg serba konkret dan empiris itu pun tak mampu menangkap, apalagi “something behind the empiric reality”.

Saya tampaknya masih gelisah dengan putusan terhadap hakim yang dijatuhkan kepada pelaku pembakar bendera tauhid itu: Divonis sepuluh hari dan Denda 2 (dua) ribu rupiah? Adilkah?

Apakah putusan tipiring: ‘Pertama’ dan ‘Final’ itu benar-benar akan mem-‘final’-kan perkara pokoknya? Atau bahkan akan menyulut reaksi yang lebih besar?.

Untuk itulah hakim itu harus benar “memasang telinganya” di tengah masyarakat sehingga mampu menangkap dan merasakan “gejolak jiwa” para pencari keadilan dan tidak terpuaskan oleh ‘Realitas empirik’ yang seringkali menipu.

Lihatlah meme di atas ini, ia tersandera oleh literasi empirik dan dangkal yang berakibat pada penangkapan realitas yang sangat naif. KELIRU..!

Tulisan ini tanggung jawab penulisnya. Isi di luar tanggung jawab Redaksi. Pengaduan: redaksi@seruji.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan isi komentar anda
Masukan Nama Anda

Artikel Lain

TERPOPULER