(Tanggapan Atas Artikel Agus Riewanto di koran SUARA MERDEKA 29 Nopember 2018)
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Prolog
Artikel ini sudah saya kirim ke akun email koran ternama di Jawa Tengah, namun hingga detik ini saya tidak mendapat tanggapan atas artikel ini apakah diterima atau ditolak beserta alasannya seperti kalau saya kirim artikel di harian Komp*as. Mungkin artikel saya ini memang tidak berkualitas. Oleh karena itu saya sekarang memilih untuk memuatnya di TS FACEBOOK dan media lainnya.
Saudaraku, dibutuhkan sedikit waktu untuk membaca artikel ini hingga tuntas sehingga tidak terjadi “missunderstanding”. Maukah?
Tanggapan akademik
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir meminta dosen yang dinyatakan terpapar radikalisme untuk memilih dibina atau dikeluarkan dari posisinya sebagai abdi negara. Menristekdikti bahkan secara sepihak telah menyebut beberapa dosen yang sudah dibina, antara lain di Semarang, Surabaya, Bandung Solo dan beberapa daerah lainnya, terpapar radikalisme. (Tempo.co, 23/11).
Lebih jauh, Menristekdikti memberi opsi ‘dibina’ atau ‘dibinasakan’ jika tidak mau kembali ke ‘jalan yang lurus’. Dosen terpapar radikalisme itu, diminta membuat ikrar dan menandatangani pakta integritas untuk kembali ke NKRI.
Narasi politik ini, kemudian mendorong saudara Agus Riewanto mengunggah opini sepihak dengan menulis artikel berjudul ‘Bahaya Dosen Radikal’ (suara merdeka.com, 29/11).
Saudara Agus dalam artikel penutupnya menyebut Kemenristekdikti harus menindak tegas dosen ASN di PTN, dengan sanksi pemberhentian jika terbukti menganut, anggota, simpatisan atau mengajarkan ideologi radikal yang akan mengubah Pancasila dan prinsip kebangsaan NKRI. Cara ini menurutnya perlu dilakukan agar paparan paham radikal tidak kian meluas dan dapat ditanggulangi sedini mungkin.
Mendudukkan akar masalah
Radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Radikalisme dapat diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau dilakukan drastis, dengan corak dan sikap yang ekstrem dalam aliran politik. (https://kbbi-web-id).
Sartono Kartodirdjo mendefinisikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa. Sementara A. Rubaidi memberi pengertian Radikalisme dalam lingkup keagamaan merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan.
Dari aspek filosofis, radikalisme mewajibkan dua ciri khas yang menjadi satu kesatuan syarat. Pertama, keinginan kuat atas adanya perubahan sosial ditengah memasyarakat secara komprehensif, menentang status quo dan anti mainstream. Kedua, metode perubahan yang ditempuh adalah melalui jalan kekerasan, fisik dan senjata. Dalam konteks radikalisme ini, selain tujuan mengubah tatanan sosial secara radikal, radikalisme juga mensyaratkan adanya aktivitas fisik dan kekerasan untuk meraih tujuan.
Lantas, apa yang telah dilakukan para tertuduh terpapar faham radikalisme (masjid dan kampus (dosen)? Kekerasan fisik apa yang dilakukan oleh ormas Islam dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, masjid maupun kampus dalam menjalankan aktifitasnya?
Pelabelan radikalisme sebatas asumsi
Uniknya saudara Agus Riewanto menarik label ‘radikalisme’ hanya berdasarkan asumsi dengan mengutip data-data yang dikeluarkan lembaga yang belum dibuktikan di pengadilan. Data pengamatan tanpa pembuktian dan verifikasi lebih lanjut, bahkan tanpa melakukan klarifikasi dan konfirmasi dari pihak-pihak yang dituduh ini rawan menjadi alat diktatorisme kampus. Mirip data radikalisme masjid, data ini setelah dibawa ke dalam forum Indonesia Lawyers Club (ILC) pada tanggal 27 Nopember 2018 tidak dapat dipertangungjawabkan oleh lembaga pengunggah data.
Ada contoh kasus lainnya, misalnya tudingan yang dialamatkan kepada HTI juga bukan berdasarkan peradilan pidana yang diadakan di lingkungan peradilan umum yang relevan mengadili norma hukum yang ditudingkan. HTI hanya dicabut status BHP- nya melalui keputusan sepihak Kemenkumham yang dikuatkan oleh Putusan PTUN Jakarta, yang menolak gugatan hukum ormas HTI.
Apalagi saudara Agus Riewanto membuat rekomendasi tindakan menindak tegas terhadap dosen ASN di PTN, dengan sanksi pemberhentian jika terbukti menganut, anggota, simpatisan atau mengajarkan ideologi radikal, tanpa memberikan rekomendasi proses hukum melalui satu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam fatsoen politik kekuasaan dapat ditafsirkan sebagai putusan badan atau pejabat tata usaha negara yang secara sepihak dapat menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berdasarkan asas hukum administrasi.
Lantas, kekerasan fisik model apa yang telah dilakukan oleh ASN yang dituding radikal ?Apa dasar pemberian sanksi hingga pemecatan yang dilakukan ? Jika sanksi diberikan karena nalar kritis sivitas akademika dalam mengoreksi jalannya roda kekuasaan, bukankah kampus didirikan untuk menyemai benih nalar kritis berdasarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang mampu dipertanggungjawabkan?
Lebih jauh, jika memang ada indikasi ada beberapa dosen terpapar radikalisme di Semarang, Surabaya, Bandung Solo dan beberapa daerah lainnya, bukankah menjadi kewajiban Kemenristekdikti untuk membinanya? Apakah elok mengumbar aib ASN di bawah naungan lembaga, yang sebenarnya belum dapat dibuktikan kesahihannya, dengan menyampaikannya di ruang publik?
Tindakan ini tentu saja dapat dipahami sebagai sebuah peradilan dan penjatuhan vonis berupa sanksi pemecatan tanpa proses persidangan bahkan mengarah pada trial by the press. Padahal, secara hukum radikalisme adalah norma yang berkaitan dengan hukum pidana yang harus dibuktikan melalui suatu peradilan umum yang menyidangkan perkara secara terbuka untuk umum.
Dengan nalar ini, ASN bisa dituding secara sepihak, diberi sanksi sepihak dengan pemecatan, setelah itu ASN terkait dipersilahkan menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika logika dan nalar ini dibiarkan, dipastikan isu radikalisme kampus akan berubah menjadi momok, monster yang menebar teror dan ancaman ditengah kehidupan dilingkungan sivitas akademika.
Radikalisme Kampus sebatas isu Politik
Menyimak narasi politik yang dibangun Kemenristekdikti, isu Radikalisme kampus sama dan sebangun dengan isu radikalisme masjid. Isu ini juga sama persis dengan isu anti kebhinekaan, anti Pancasila dan isu anti NKRI.
Dengan tudingan anti NKRI, anti Pancasila, anti kebhinekaan, seseorang bisa diberi sanksi secara sepihak oleh orang dengan jabatan politik, tanpa perlu membuktikannya dalam suatu forum persidangan yang terbuka untuk umum. Siapapun yang dianggap bertentangan dengan kebijakan penguasa, dapat di cap radikal, terpapar radikalisme, dan selanjutnya dapat ditindak berdasarkan wewenang yang melekat pada jabatan politik pihak-pihak yang merasa terusik.
Sampai hari ini, belum ada satupun putusan pengadilan yang memberikan putusan atau setidaknya penetapan tentang individu atau lembaga tertentu yang terpapar radikalisme.
Radikalisme kampus adalah isu politik liar yang dapat digunakan untuk membungkam nalar kritik publik, khususnya kritisme sivitas akademika. Padahal, kampus selalu mendidik setiap insan yang tumbuh dan dibesarkan di dalamnya, agar senantiasa melakukan koreksi dan kritik terhadap kondisi dan alienasi publik berdasarkan ilmu dan pengetahuan.
Radikalisme kampus lebih mirip alat politik yang dapat digunakan untuk membungkam setiap ujaran berbeda, yang mengajukan koreksi kritis terhadap jalannya kekuasaan. Radikalisme, bisa menjadi alat politik untuk membungkam lawan politik kekuasaan, baik kalangan ormas maupun insan sivitas akademika.
Seharusnya jika negara taat konstitusi, segera melakukan penyelidikan dan penyidikan. Buktikan norma pasal apa yang dipersoalkan dalam isu radikalisme kampus, kemudian bawa kasus hukum yang didakwakan kelembagaan peradilan. Barulah di pengadilan, setiap pihak yang mendakwa wajib membuktikan dakwaannya. Sementara pihak terdakwa, diberi kesempatan untuk membela diri secara patut, equal, berdasarkan asas dan norma hukum yang berlaku.
Penulis sendiri, telah diberi “tindakan hukum–bila tidak mau disebut sebagai SANKSI” sepihak oleh otoritas sivitas akedemika berupa PEMBERHENTIAN SEMENTARA atas 3 jabatan (Kaprodi Magister Ilmu Hukum, Ketua Senat FH dan Anggota Komisi IV Senat Undip) tanpa diberitahu apa kesalahan yang penulis lakukan. Penulis dituding sepihak anti Pancasila, anti NKRI, DOSEN RADIKAL. Sakit sekali dituding sebagai anti Pancasila, padahal sudah hampir tiga dasawarsa penulis mendedikasikan diri sebagai Dosen Guru Besar pengajar Mata Kuliah Pancasila.
Lima tanggapan kritis.
Pertama, tulisan Agus Riewanto adalah contoh tulisan hukum yang tidak berdasarkan argumentasi hukum yang benar apalagi fakta hukum yang benar. Menilai perbuatan hukum hanya dengan asumsi-asumsi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, diskusi terkait sistem pemerintahan di kampus adalah hal yang wajar, selama disajikan secara ilmiah, intelektual dan argumentatif. Bukankah selama ini sejak SMP dan SMA kita diajarkan bentuk-bentuk sistem pemerintahan dari negara lain misalnya kerajaan, monarkhi, demokrasi, republik, federal, kekaisaran. Bahkan kita diajarkan sejarah-sejarah negara luar seperti Romawi, Persia, Kerajaan Inggris. Lantas ketika umat Islam di Indonesia membicarakan sistem pemerintahan dalam Islam (fiqh daulah) dituduh sebagai radikal? Dituduh mengganti ideologi negara? Seharusnya seorang intelektual itu pantang untuk melakukan sembarang tuduhan.
Ketiga, tulisan Agus Riewanto hanya sekedar memberikan justifikasi terhadap pernyataan dan riset yang dilakukan oleh lembaga negara. Riset yang belum pernah diuji kebenarannya secara objektif. Saya menduga banyak orang yang hanya berbicara di media tentang Pancasila, tapi saya sudah mengajarkannya selama 24 tahun. Saya toh dituduh radikal, anti Pancasila dan anti NKRI bahkan kini saya tidak diizinkan untuk mengajar Mata Kuliah Pancasila hanya lantaran berpikir dan bersikap berbeda dengan pemerintah sekarang. Siapa yg sesungguhnya yang radikal dan siapa yang Pancasilais?”.
Keempat, bahwa Pancasila bukan alat gebuk lawan politik. Tidak etis menjadikan ideologi sebagai alat untuk membungkam lawan politik atau pihak kritis yang berseberangan dengan pemerintah. Pancasila bukan alat gebuk, ia adalah precept yaitu ajaran moral sosial yang memiliki karakter perintah sebagai imperative categories. Precept, perintah yang seharusnya tidak dapat ditawar untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tapi, apa lacur di kata: bagai jauh panggang dari api.
Pancasila telah diubah dari precepti menjadi jizim yang disakralkan bahkan dipuja-puja tanpa mengerti dan memahami nilai-nilai dasarnya.
Kelima, dosen radikal itu penting.
Radikal dalam arti berfikir mendasar dan mencari langkah serta upaya memperbaiki bangsa dan negara dari keterpurukan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial dan budaya. Akankah cara bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita terus seperti ini? Tidakkah kita malu kepada para pendiri bangsa (The Founding Fathers)?
*Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Ditulis kembali dengan seijin penulis untuk seruji.co