Duka masyarakat Lombok, belum berakhir. Luka dan trauma, masih terserak diantara puing-puing bangunan. Ratusan ribu di antara mereka, kini menjadi “manusia tenda”.
Ya, pasca diguncang gempa dahsyat 6,4 SR, 7,0 SR dan 6,2 SR pada Juli-Agustus 2018 yang lalu, Lombok menjelma sebagai bumi perkemahan Nusantara. Orang-orang dihantui kecemasan, mereka berbondong-bondong mendirikan tenda di ruang terbuka. Mereka takut masuk rumah, takut dengan guncangan gempa serupa. Apalagi, tidak lama setelah gempa utama, gempa susulan masih terjadi hingga ribuan kali.
Sampai tulisan ini dibuat, laporan BNPB menyebutkan, sedikitnya 460 orang dinyatakan tewas. 7.773 orang luka-luka. 959 diantaranya luka berat dan dirawat inap serta 6.774 lainnya mengalami luka ringan. 417.529 orang mengungsi. Jumlah terbanyak di Kabupaten Lombok Utara, kemudian Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, dan Kabupaten Lombok Tengah.
Selain merenggut ratusan nyawa, gempa juga memporak-porandakan ribuan bangunan yang ada di atasnya. Gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah warga, tempat ibadah, sekolah, universitas, pasar, jembatan dan infrastruktur vital lainnya, hancur. Yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan yang tak berharga.
Kerusakan akibat gempa, otomatis membuat 3/4 wilayah pulau Lombok lumpuh. Di Lombok Utara, bahkan semua aktivitas terhenti. Pemerintahan tidak bisa dijalankan, karena semua gedung pemerintah rata dengan tanah.
Geliat ekonomi tak ada lagi. Pasar-pasar mendadak mati. Aktivitas pendidikan belum berjalan normal, selain karena guru dan siswanya menjadi korban, mereka juga tak punya gedung sekolah.
Jaringan listrik terputus. Air bersih menjadi langka. Pasokan bahan makanan terganggu. Para korban yang selamat itu, bila malam tiba, disergap hawa dingin dan diselimuti malam yang gelap gulita.
Begitulah kondisinya. Demikianlah realitasnya. Praktis, warga yang terdampak bencana, kini hidup dengan uluran tangan para dermawan. Lantas, sampai kapan?
Menurut Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Indonesia, Ahyudin, yang kebetulan turun langsung melakukan observasi dampak gempa Lombok sejak hari pertama, bencana Lombok seharusnya sudah menjadi bencana nasional. Bahkan, katanya, tidak cukup menjadi bencana nasional, gempa Lombok bisa naik status menjadi bencana global.
Ahyudin beralasan, selain karena masifnya dampak kerusakan akibat gempa, Lombok juga merupakan Geopark yang menjadi warisan berharga masyarakat dunia. Tidak hanya itu, beberapa situs penting di Lombok yang rusak, tidak akan mampu diselesaikan sendirian oleh pemerintah daerah.
Penilaian Ahyudin, diaminkan oleh Gubernur NTB terpilih, DR. Zulkieflimansyah. Bang Zul–demikian ia disapa– secara khusus, meminta pemerintah pusat segera menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Agar penanganan gempa dan recovery-nya dapat berjalan lebih cepat dan lebih massif, karena didukung oleh Negara.
Hal yang paling dikhawatirkan dari semua kekhawatiran itu adalah dampak sosial dan ekonomi yang muncul akibat penanganan yang lamban. Distribusi bantuan logistik yang terbatas dan belum merata, bisa saja menimbulkan masalah baru dikemudian harinya, jika tak dikelola dengan baik dan benar.
Di tengah desakan berbagai pihak, agar pemerintah pusat menjadikan gempa Lombok sebagai bencana nasional, pemerintah pusat justru tidak berfikir demikian, dan tetap kekeuh menolak gempa Lombok sebagai bencana nasional.
Entahlah. Kita berbaik sangka saja. Mungkin negara punya keperluan lain, punya agenda lain, punya hajat lain, sehingga pos anggaran penanganan bencana Lombok tidak menjadi prioritas nasional.
Terakhir, terimakasih saya ucapkan kepada Presiden Joko Widodo dan Cawapres Sandiaga Uno yang telah berkunjung ke Lombok, melihat langsung kondisi di Lapangan. Meski, kedua tokoh ini memiliki pandangan yang berbeda soal gempa Lombok. Pak Jokowi tetap menganggapnya sebagai bencana lokal, sedangkan Sandiaga menilainya sebagai bencana Nasional. Apapun itu, semoga kehadiran mereka berdua dapat menghadirkan solusi bagi korban bencana. Sekian.