Lamandau – Sembilan warga adat Laman Kinipan Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah memutuskan bertolak ke Jakarta awal Juni lalu. Mereka mengadu ke berbagai kementerian dan lembaga negara. Mereka sudah mengadu di level pemerintah daerah, tetapi tak mendapatkan respon. Di Jakarta, mereka mendatangani Kepala Staf Kepresidenan, KLHK, hingga Komnas HAM. Soal legalitas selalu membuat mandek negosiasi antara warga dan perusahaan.
”Mereka selalu tanya legalitas, tapi legalitas itu kan ada setelah negara merdeka. Kita sejak dalam kandungan memiliki pengakuan hak adat disitu.” ujar Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan saat dikonfirmasi awak media, Kamis (30/11)
Pemerintah, sambung Buhing, jangan semena-mena mengeluarkan izin tanpa persetujuan masyarakat adat.
”Maka kami datang ke Kantor Staf Presiden, KLHK dan Komnas HAM. Pemerintah menerima laporan dari masyarakat dan berjanji menindaklanjuti. Kami datang ke Jakarta, juga meminta bantuan pengurus besar AMAN menyelesaikan sengketa adat ini,” tandasnya.
Buhing mengatakan, permintaan masyarakat adat agar investor angkat kaki dari wilayah adat Laman. Sawit yang sudah ditanam ataupun lahan yang belum ditanam, tetap milik masyarakat adat. Kerena perusahaan dinilai sudah melakukan pengrusakan alam.
Dia menjelaskan, sembari menunggu janji Staf Kepreidenan dan Kementerian terealilasi, warga adat tetap tegas menolak sawit karena beberapa alasan.
Pertama, wilayah itu hutan adat, baik pemerintah maupun perusahaan seharusnya pamit dan membuat kesepakatan dengan masyarakat.
Kedua, belajar dari pengalaman desa lain, kompensasi lahan per keluarga tak menjanjikan. Sistem plasma dua hektar per keluarga tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari, apalagi hutan sebagai sumber kehidupan mereka hilang.
Ketiga, pola kerja plasma tak menguntungkan dan dibebani utang.
Keempat, investasi ini sangat riskan konflik kepentingan internal antar warga, hingga khawatir berebut lahan.
Mayoritas masyarakat Laman, lanjut Buhing, masih menggantungkan hidup dari hutan adat. Mereka berladang, kebun karet, rotan juga jengkol.
“Lebih baik jengkol dijual bisa mendapatkan Rp15.000 per kilo gram. Dan Jengkol tidak memerlukan pupuk juga perawatan seperti sawit.
Begitu juga potensi madu di pepohonan kapang atau biasa dikenal kayu madu,” jelasnya.