WARGASERUJI – Anakku kubelikan mi ayam. Aku sendiri beli bakso. Dua mangkuk mi ayam dan semangkuk bakso plus segelas es jeruk cukup dibayar Rp 20.000,-. Apa? Apa tidak salah? Hanya Rp20.000,-? Bakso lima ribu?
Si penjualnya bilang, tak bisa jual dengan harga di atas itu. Bahkan, masih ada yang maunya beli bakso seporsi untuk berdua!
Memang warungnya ada di pinggir jalan dusun. Tak begitu ramai. Padahal, belum lama berselang lebaran.
Lebaran di pelosok dusun memang mengejutkan kalau melihat harga-harga. Senang, sih. Tapi, ada sedihnya juga.
Keluarga mertua hidup di dusun yang sama. Sudah tua, dan punya lahan pertanian. Walau punya tanah sendiri, semua hasil pertanian sepertinya hanya untuk sekedar menyambung hidup.
Sawah harus diairi dengan mesin diesel. Pupuk harus beli. Gabah dijual dengan harga murah.
Banyak yang seperti itu. Petani sudah bukan profesi menarik. Banyak yang keluar negeri menjadi TKI hanya untuk punya uang banyak.
Bagi yang masih bertahan dengan profesi petani, pasti hidup seadanya sesuai dengan apa yang ada di dusun. Makanan murah, tapi barang kebutuhan lain tak terjangkau karena harganya harga kota.
Kalau mau sarkastis, katakan saja: orang kota dan orang desa bekerja sama keras, pendapatan beda kelas. Terjadi terus menerus sehingga uang semakin terkumpul di kota, menjauh dari desa.
Uang jadi “berharga” di dusun. Mau beli ini atau itu pikir-pikir seribu kali. Jadilah terpaksa bakso lima ribu dijual.